Kabupaten Morowali dan Morowali Utara Propinsi Sulawesi Tengah, merupakan titik investasi nikel tumbuh dan berkembang. Tahun 2013 yang lalu sejak di tanda tanganinya perjanjian kerja sama antara Bintang Delapan Mineral Grup (Indonesia) dan Tsingsang Steel Grup (Tiongkok) yang di saksikan oleh kedua kepala negara, menjadi cikal bakal mendaratnya modal Tiongkok ke Kabupaten Morowali. Membangun kawasan (Indonesia Morowali Industrial Park), untuk memproduksi nikel jenis Carbon steel, Stainless steel serta pendukunganya Mangan, Silicon, Chrome, Kapur, dan Kokas.
Selain Tsingsang Steel Grup sebagai pembuka jalan, saat ini ada beberapa perusahaan raksasa asal Tiongkok juga mendaratkan modalnya di bumi morowali, seperti Jiangsu Delong Grup membuka industri pengolahan nikel di Kabupaten Morowali Utara, dengan nama Kawasan Stardust Estate Invesment (SEI), Shenzi Group membuka kawasan Industri di Kec Bungku Barat Kab Morowali, dengan nama kawasan Indonesia Huabao Industrial Park. Serta perusahaan lainya seperi Wangxiang, Transon, COR Industri Indonesia, Eski 69, E- United Ferro Indonesia, dan Wesindo Mineral Perkasa.
Sebagian besar metode pengelolaan industri nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, menggunakan Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) metode smelter yang menggunakan tungku putar dan tungku listrik untuk mengubah bijih nikel saprolit yang kaya besi menjadi NPI dengan kadar nikel sekitar 10%. Melalui dua rangkaian proses utama, yakni reduksi dalam tungku putar (rotary kiln) dan peleburan dalam tungku listrik (electric furnace).
Hampir 100% Industri nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara menggunakan PLTU Batubara, karena metode RKEF yang di pakai sangat membutuhkan energi yang cukup tinggi untuk memproses biji nikel ke NPI, Stinless Steel, & Carbon Steel. 4395 Mw yang sedang beroperasi dan 3950 Mw yang sedang konstruksi, terdapat di kawasan industri yang terintegrasi PT IMIP, SEI, IHIP, & industri non integrasi seperti wangxiang dllnya. Jika di tambahkan antara yang sedang operasi dan konstruksi, total kapasitas PLTU Batubara di masa yang akan datang mencapai 8.345 Mw. Berdasarkan data yang di peroleh dari berbagai sumber, Walhi Sulteng memperkirakan tahun 2027 – 2028 PLTU Batubara di Morowali dan Morowali Utara akan mencapai puncaknya.
Berstatus PLTU Captive Coal Power Plant, PLTU Batubara yang terdapat di dalam kawasan industri nikel di Morowali dan Morowali utara lepas dari kontrol PLN. Hasil wawancara dengan buruh yang bekerja di PLTU PT SMI, kapasitas energi tergantung dari tungku smhelter, biasanya kalau smhelter yang memiliki 4 tungku membutuhkan hingga 350 Mw dan 2 tungku membutuhkan hingga 150 Mw. Semakin tinggi daya energi yang di pasok ke smhelter maka proses pembakaran ore akan semakin bagus.
Hilirisasi Nikel di dorong oleh pemerintah indonesia melalui berbagai kebijakanya, agar mendapatkan nilai tambah, tidak sejalan dengan komitmen pengurangan emisi yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, Indonesia memiliki target penurunan emisi nasional sebesar 29% hingga 2030 (NDC). Sebab Batubara yang di batasi penggunaanya untuk mengurangi emisi, kini tumbuh sumbur di seluruh industri nikel yang ada di Morowali dan Morowali Utara. Lahirnya regulasi perpes 112 tahun 2012 tentang pembatasan PLTU Batubara justru tidak mengatur PLTU Captive Power Plant di industri nikel.
Walhi Sulteng menilai demi ambisi untuk terus menggenjot nilai tambah dari hilirisasi nikel yang dilakukan oleh pemerintah, mengorbankan lingkungan dan melanggar komitmen untuk mencegah perubahan iklim. Seharusnya ada standarisasi di terapkan oleh pemerintah sehingga industri nikel yang di kembangkan oleh sebagian besar investor Tiongkok di Morowali dan Morowali Utara, tidak gila gilaan menggunakan energi kotor itu.
128.323 jiwa Morowali Utara dan 176.244 Jiwa Morowali jumlah penduduk di dua kabupaten tersebut akan menjadi korban dari polutan emisi yang bertebaran di langit morowali setiap harinya, jika di lihat trend peningkatan pembagunan PLTU Captive dalam setiap tahunya di kawasan industri Morowali dan Morowali Utara semakin meningkat seiring dengan target produksi nikel terus bertambah.
Ada 8 Desa yang berada di ring satu lingkar kawasan industri nikel di Morowali Utara dan Morowali mengalami dampak cukup serius akibat aktivitas PLTU Captive. Desa Tanauge dan Towara pantai Morowali Utara PT GNI kawasan SEI, Desa Ambunu, Tondo, dan Topogaro Kec Bungku Barat Morowali kawasan IHIP. Desa Fatuvia, Labota, dan Keurea kawasan IMIP.
Masyarakat Desa Tanauge merasakan dampak abu batu bara hampir setiap harinya, berdasarkan data Puskesmas Kec Petasia Timur ada 170 orang dari Desa Tanauge terpapar ISPA. Abu batu bara masuk menempel di kaca dan dinding rumah, terpaksa pintu dan jendela rumah harus di tutup setiap harinya. Perempuan merasakan gatal – gatal ketika habis beraktivitas di air seperti mencuci dan mandi, di duga air tersebut telah terkontaminasi limbah pendingin dan abu batu bara. Pendapatan nelayan menurun akibat aktivitas PT GNI. Hasil pengamatan lapangan oleh Walhi Sulteng, terjadi perubahan yang cukup signifikan di sekitar pesisir Desa Tanauge air berubah menjadi coklat di sepanjang pantai.
Tahun 2018 sebelum PT GNI beroperasi hampir sebagian besar penduduk Desa Tanauge beraktivitas sebagai nelayan dengan pendapatan rata – rata Rp 2.000,000/1 kali melaut, dan pada tahun 2023 pendapatan nelayan sejak PT GNI beroperasi rata – rata tinggal Rp 2.00,000/1kali melaut. Penurunan pendapatan mata pencaharian nelayan factor utamanya, pembuangan pendingin PLTU kelaut yang menyebabkan meningkatnya suhu panas di sekitar pesisir laut Desa Tanauge, ekosistem laut seperti karang dan biota lainya tidak berkembang biak dengan baik.
Simulasi hitungan perbandingan pendapatan yang dilakukan oleh Walhi Sulteng, sebelum dan sesudah perusahaan beraktivitas, masyarakat mengalami kerugian yang drastis ia kehilangan nilai pendapatan 1,800.000 setiap bulanya. Jika ingin mendapatkan nilai besar biasanya nelayan harus menempuh jarak 3 sampai 4 jam, untuk mencari spot pemancingan yang bagus. Akan tetapi ia harus mengeluarkan modal yang cukup besar terutama bahan bakar, rata – rata bahan bakar yang di gunakan sampai 6 – 7 Liter dengan harga Rp 15000/Liternya. Sebelum perusahaan beroperasi biasanya spot pemancingan hanya berjarak 30 menit dari desa dengan bahan bakar 1 – 2 Liter.
Penyakit langka seperti gatal – gatal yang merusak kulit di alami oleh masyarakat Desa Tanauge, menyerang orang Dewasa Usia 25 Tahun ke atas dan Balita 3 – 5 tahun Laki – laki perempuan. Hasil investigasi lapangan Walhi Sulteng, ada 15 orang yang terjangkit penyakit kulit tersebut secara tiba – tiba dan merata. Sepanjang tahun 2023 bahkan sampai saat ini tak kunjung sembuh. Tidak ada historis penyakit seperti ini di Desa Tanauge sebelumnya. Sudah hampir 20 tahun saya tinggal di desa ini ungkap salah seorang warga. Gatal – gatal biasanya dirasakan 3 – 4 bulan sampai kulit menjadi merah dan perih seperti luka bakar.
Data puskesmas Kec Petasia Timur 2023, ada 10 desa yang terpapar penyakit ISPA. Desa yang berada di dalam dan luar kawasan PT SEI. Dugaan Walhi Sulteng hal tersebut di sebabkan PLTU milik PT GNI, karena angin bertiup dari segala arah timur ke barat membawa abu batu bara, di Desa Tanauge sendiri biasanya abu hitam tebal bertebaran datang pada bulan November Desember musim angin timur.
Desa Fatuvia tepatnya di Dusun Kurisa, desa yang berada di lingkar kawasan IMIP Kec Bahodopi, juga merasakan dampak akibat aktivitas PLTU Captive. Dampak tersebut menurunya pendampatan nelayan, bau menyengat dan abu batubara. Sebagian besar masyarakat Dusun Kurisa dulunya berprofesi sebagai nelayan yang di dominasi suku bajo terdapat 300 KK yang tinggal di dusun tersebut. Pembuangan air pendingin batu bara IMIP tepat berhadapan dengan pemukiman warga dari arah barat kurang lebih 700 meter.
Sebelum PT IMIP beroperasi tahun 2011 – 2012, aktivitas melaut nelayan hanya di sekitar pemukiman saja. Hasil tangkapanya mencapai 5 – 6 Kg ikan korapu, dan perempuan mencari kerang meti untuk kebutuhan konsumsi dan di jual ke pasar dengan harga Rp 10.000/mangkung kecil. Sumber pangan masyarakat melimpah di sepanjang pesisir dan laut Desa Fatuvia. Perubahan kondisi tersebut semenjak PT IMIP mulai beroperasi pada tahun 2016 hingga saat ini, air laut yang dulu jernih terlihat karang dan ikan kini mulai keruh, karamba tancap yang di kembangkan oleh masyarakat di bawa kolong rumah tidak lagi dilakukan, banyak ikan yang tidak berkembang biak dengan baik.
Suhu air menjadi panas dan keruh, ikan dan kerang meti tidak lagi terlihat, bahkan nelayan saat ini beralih profesi menjadi ojek laut melayani para ABK Kapal yang parkir di pelabuhan IMIP untuk turun naik membeli logistik di darat. Perempuan yang dulunya mencari sumber pangan hanya ada di sekitar rumah kerang meti dan ikan, kini menjadi pemulung sampah plastik di jual dengan harga 3000/Kg. Nelayan beralih profesi menjadi ojek laut karena secara hitung – hitungan, tidak mendapatkan keuntungan lebih lagi ketika melaut, kadang hanya kembali modal saja. Spot memancing sudah jauh di tempuh kurang lebih 3 – 4 jam kadang ada hasil kadang tidak.
Abu batu bara terbang masuk ke rumah – rumah warga, di Dusun Kurisa sendiri sudah 2 kali melakukan protes ke IMIP akan tetapi tidak mendapat tanggapan, PT IMIP hanya memberikan bantuan seng/atap rumah sebanyak 15 lembar dan penyiraman jalan sebanyak 3 kali dalam sehari. Masyarakat Dusun Kurisa sudah 5 tahun merasakan dampak aktivis PLTU Captive, Ibu Syawal menyampaikan air bersih yang di tampung untuk konsumsi dan mandi harus di tutup dengan kain untuk mencegah agar abu batu bara tidak masuk ke air.
Di Desa Labota, sekolah SDN dan MTS Aljariyah hanya berjarak 100 – 200 meter dari cerobong PLTU Captive milik PT IMIP dan jalan raya. Aktivitas PLTU menganggu proses belajar mengajar, suara kebisingan dan abu batu batara yang masuk ke ruangan kelas. 6 orang anak siswa yang teridentifikasi mengalami batuk – batuk dan sesak nafas, usia rata – rata 12 – 13 tahun ke atas.
Desa Ambunu dan Tondo jarak PLTU Captive Milik PT BTIIG di kawasan Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) berkapasitas 350 Mw, hanya berjarak 100 – 200 meter dari pemukiman padat penduduk, jalan raya, dan pasar tradisional harian Desa Tondo, di Desa Ambunu PLTU tepat berada di belakang pagar sekolah SD Alkairaat hanya berjarak 100 meter. Uji coba pertama yang dilakukan oleh PT BTIIG pada bulan September 2023 lalu, masyarakat merasakan kebisingan yang luar biasa di sekitar Desa Tondo dan Ambunu, bahkan kebisinganya sampai ke Desa Bahonsuai yang jaraknya kurang lebih 4 – 5 Km dari titik PLTU. Prediksi tahun 2024 mendatang PLTU akan aktif beroperasi bersamaan proses produksi nikel mulai di jalankan.
jika di tahun mendatang kapasitas PLTU Captive akan mencapai puncaknya, Hingga 8.345 Mw atau 8,4 GW, langit wilayah bentangan morowali akan bertebaran polutan yang membahayakan kesehatan bagi masyarakat dan pekerja, serta emisi yang terbang ke atmosfer. 33.380,000 Ton batu bara yang akan di bakar setiap harinya (Hitungan PLTN 1 MW membutuhkan 4000 Ton Batubara). Saat ini saja total batu bara yang di bakar untuk melayani PLTU Captive di 4 kawasan industri Industri nikel Morowali dan Morowali Utara mecapai 17.580,000 Ton dengan Kapasitas 4.395 mw. Ini akan menjadi malapetaka bagi keberlangsungan kehidupan di bentangan morowali. Pemerintah yang memiliki wewenang harus mengambil langkah serius terkait dengan kondisi ini, melakukan pengurangan dan pengawasan secara ketat, bahkan harus memberikan sangsi yang tegas kepada perusahaan tanpa pandang bulu. Jika tidak, maka masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri nikel akan menjadi korban, dan itu adalah bom waktu.
Narahubung
Yusman (085343806525)
Wandi (082215534058)