CABUT HAK PENGELOLAAN BADAN BANK TANAH DI TANAH ADAT PEKUREHUA

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Kemudahan berinvestasi di Indonesia dilakukan oleh pemerintah dengan penyederhanaan beberapa regulasi menjadi UU Cipta Kerja. Salah satu yang diatur yaitu pembentukan Badan Bank Tanah, yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggara Bank Tanah. Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Tanah yang berada dalam penguasaan Badan Bank Tanah diberikan dengan status Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Badan Bank Tanah dapat diberikan kepada instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Bank Tanah itu sendiri, BUMN/BUMD, Badan Hukum Milik Negara.

Melihat dari karakteristik pihak yang dapat diberikan Hak Pengelolaan ini oleh Badan Bank Tanah tentunya sangat beriorentasi untuk mencari profit karena mengutamakan untuk kepentingan pembangunan nasional. Implementasi kebijakan ini terlihat di beberapa daerah, salah satunya di dataran Tinggi Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tepatnya di area lahan eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) seluas 7.740 ha yang berada di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau.

Rilis website Badan Bank Tanah menyebutkan profil aset bank tanah yang diklaim di Kabupaten Poso seluas 6.648 ha dan berlokasi di Desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalimago dan Desa Watutau yang terbagi di dua kecamatan yaitu Lore Timur dan Lore Piore. Kemudian, dari total luas HGU (Hak Guna Usaha) sebesar 7.740 ha; ada 4.079 yang dianggap tidak ada penguasaan tanah, tanah yang dikuasai masyarakat seluas 3.213, 05 ha, tanah berbadan hukum seluas 224, 29 ha, tanah pemerintah seluas 12, 26 ha dan tanah negara yang dikuasai negara seluas 7,17 ha. Bank tanah ini juga akan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang disesuaikan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) seperti Hutan Produksi Terbatas (HPT), kemudian kawasan perkebunan yang ditanami kopi dan kakao dan kawasan pertanian lahan kering yang ditanami cabai, kubis, pisang, tomat, bawang merah, ubi kayu, sawi dan durian.

Menurut SP Palu: “Setelah selesai masa berlaku HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL), tanah tersebut di claim oleh Bank Tanah. Namun dalam prosesnya Bank tanah ini abai terhadap hak-hak masyarakat dan perempuan yang telah lama mengolah tanah tersebut, dan dimana masyarakat adalah pemilik tanah adat yang secara turun temurun memiliki keterikatan erat dengan masyarakat desa, dan Bank tanah juga tidak melihat relasi sosial-budaya masyarakat dan perempuan Pekurehua. Sebelum adanya HGU, tanah tersebut merupakan tanah adat, yang digunakan untuk pengembalaan kerbau, dan lahan pertanian masyarakat. Hal ini yang dilihat menjadi salah satu praktik perampasan tanah yang dilakukan oleh negara terhadap wilayah perempuan dan masyarakat, untuk memfasilitasi kepentingan investasi”. Tutur Isna Ragi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Solidaritas Perempuan Palu.

Beberapa waktu belakangan, Forum Masyarakat Lamba Bersatu memprotes kehadiran Bank Tanah yang ada di Desa Watutau, Kec. Lore Piore Kabupaten Poso. Protes mereka memuat tuntutan kepada pihak bank tanah yang telah memasang patok-patok di lahan pertanian-perkebunan masyarakat, dan memasang plang larangan memanfaatkan lahan oleh masyarakat tanpa izin badan Bank Tanah,  masyarakat menuntut Bank Tanah untuk segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu, forum ini menuntut pihak bank tanah untuk menghentikan aktivitas di lahan-lahan warga yang merupakan lahan pertanian-perkebunan warga yang juga merupakan wilayah adat.

“Badan Bank Tanah bukan hanya mematok lahan eks HGU PT SIL tapi mematok lahan persawahan produktif, lahan perkebunan coklat, dan kopi yang produkstif, lahan kering yang belum digarap, bahkan pekarangan rumah Masyarakat”

Situasi ini memperlihatkan bagaimana negara merampas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan masyarakat dan perempuan yang masih jauh dari keadilan pengaturan pengadaan tanah. Seharusnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum harus dapat menciptakan keadilan, memberikan kepastian hukum atas hak-hak kepemilikan tanah perempuan dan masyarakat, dan tidak mengabaikan kepentingan pribadi pemilik hak atas tanah. Kalaupun terpaksa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan individu maka kepentingan setiap individu dalam hal ini perempuan dan masyarakat harus mendapatkan perlindungan.

Menurut Walhi Sulteng: Jika kita merunut Perjuangan masyarakat Desa Watutau Kabupaten Poso dalam mempertahankan tanah adat mereka bukan hanya saat ini, melainkan sudah sejak awal penetapan HGU oleh pemerintah. Pada tahun 2005 masyarakat Desa Watutau melancarkan protes dan penolakan terhadap HGU PT Hasfarm yang dinilai telah merampas wilayah adat. tidak hanya berhenti disitu, protes kembali berlanjut pada awal tahun 2023 sejak kehadiran Badan Bank Tanah yang memasang Plang yang berisi larangan melakukan kegiatan pemanfaatan tanah tanpa izin Bank Tanah. Padahal lahan tersebut telah diolah dan dimanfaatkan masyarakat setempat bercocok tanam (kebun kopi, kakao, durian hingga persawahan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu juga pada lokasi tersebut terdapat perkampungan tua (lamba) yang mengandung sejarah penting bagi eksistensi Masyarakat Adat Pehurehua.

Sedangkan menurut SLPP: ”Praktek perampasan lahan melalui Bank Tanah untuk kepentingan korporasi atas lahan yang telah dikuasai, dimanfaatkan, dan dikelola oleh Masyarakat Adat Desa Watutau secara turun-temurun akan memperparah ketimpangan penguasaan lahan dan memperpanjang sejarah konflik agraria di era rezim Jokowi. Dari 27.799.280 petani pengguna lahan pertanian, 17.248.181 atau 62,05%-nya adalah petani berlahan sempit atau petani gurem (Sensus Pertanian 2023-BPS). Hal ini diperparah dengan makin tingginya konflik agraria. Tanahkita.id mencatat hingga Juni 2024 terdapat 562 kejadian konflik agraria dengan luas area konflik sebesar 5,16 juta hektar yang berdampak pada 868.667 jiwa masyarakat adat dan komunitas lokal.”

Oleh karena situasi tersebut, kami dari sejumlah Oganisasi Masyarakat Sipil dengan ini menyatakan sikap, bahwa:

  1. Mendukung perjuangan Masyarakat Adat Desa Watutau serta seluruh Desa sekitarnya dalam mempertahankan wilayah kelola sebagai sumber ruang hidup rakyat.
  2. Mendesak Menteri ATR/BPN untuk mencabut status Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Badan Bank Tanah serta mendistribusikan tanah kepada Masyarakat setempat
  3. Mendesak Bupati Poso, Gubernur, DPRD Kabupaten Poso serta DPRD Propinsi Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan rekomendasi pencabutan status Hak Pengelolaan Badan Bank Tanah, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan HAM Masyarakat Desa Watutau dan Desa sekitarnya.
  4. Mendesak KOMNAS HAM Perwakilan Sulawesi Tengah untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM secara khusus Hak Sosial Ekonomi Masyarakat dengan keberadaan Badan Bank Tanah yang mengambil wilayah Kelola Masyarakat secara melawan hukum
  5. Mendesak Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah untuk melakukan pengawasan secara masif sesuai dengan PP 64 Tahun 2021, berkaitan dengan fungsi-fungsi yang tidak dilakukan secara akuntabel oleh Badan Bank Tanah
  6. Mendesak Badan Bank Tanah untuk melakukan uji publik kepada Masyarakat setempat terkait dengan proses Perencanaan, Perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah dan pendistribusian tanah yang akan dilakukan oleh Badan Bank Tanah.
  7. Mendesak Badan Bank Tanah untuk tidak melakukan aktifitas dalam bentuk apapun dan menarik seluruh atributnya diwilayah Desa Watutau dan sekitarnya sebelum poin-poin diatas dilaksanakan.

Narahubung

WALHI Sulteng                  : Bonar 081245366207

SP Palu                                : Iyan 082259164323

SLPP                                   : Agus 081241964006

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :