Tanggal 29 Juli 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi tengah melaksanakan diskusi publik sekaligus peluncuran hasil riset tentang “Carut Marut Investasi Tiongkok di Morowali dan Morowali Utara dalam konteks Perburuahan, Agraria dan PLTU Captive Coal Power Plant (Studi Kasus PT. IMIP, IHIP dan SEI)” bertempat di Kantor WALHI Sulawesi Tengah, Jl. Tanjung Manimbaya, Kota Palu.
Dalam diskusi sekaligus peluncuran hasil riset tersebut menghadirkan Arianto Sangadji sebagai Peneliti, Rahman Ladanu sebagai Warga Morowali dan Yusman dari WALHI Sulawesi Tengah sekaligus peneliti dan penulis hasil riset.
Peneliti dan penulis hasil riset, Yusman dalam diskusi tersebut menggambarkan secara umum praktik investasi tiongkok yang begitu carut marut, mulai dari perosalan Ketenagakerjaan yang ada dikawasan IMIP, Konflik Agraria dikawasan IHIP hingga kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan akibat dari aktivitas PLTU Captive Coal Power Plant yang ada dikawasan SEI Morowali Utara.
Berdasarkan gambaran umum dari hasil riset WALHI Sulawesi Tengah, carut marutnya praktik investasi Tiongkok dalam dalam konteks perburuhan dikawasan IMIP misalnya, sama sekali tidak menggambarkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan mengedepankan prinsip kemanusian. Sejak Mou tahun 2013 antara Sanghai Decent Invesment anak perusahaan Tsinghan dan PT Bintang Delapan Mineral yang merupakan cikal bakal mendaratnya modal tiongkok di Morowali dan peresmian Smelter pertama milik PT Sulawesi Mining Invesment oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014 dengan nilai investasi per Tahun 2023 mencapai USD 30.146.000 atau setara Rp 463,645 Triliun hingga saat ini selalu mengesampingkan persoalan ketenagakerjaan mulai dari sistem pengupahannya, dan jaminan keselamatan kerja bagi buruh. Diketahui bahwa hampir sebagian besar pekerja di kawasan IMIP memiliki tempat tinggal dengan menyewa kos – kosan, harga per 1 kos yang semi permanen Rp. 1.000,000, 1.500,000 hingga 1.200,000 perbulan belum lagi untuk kebutuhan sehari hari seperti BBM dengan besaran Rp. 17.000 per Liter dan kebutuhan domestik lainnya bagi yang sudah berkeluarga.
“Jika upah di dapatkan oleh pekerja berkisar Rp 5000,000 – Rp 7000,000, secara hitungan hanya pas pasan saja, tidak ada kelebihan untuk di simpan dan dikirim kepada keluarga di kampung. Bayar biaya kos, listrik, makan selama satu bulan, bahan bakar, air, serta kebutuhan khusus anak dan istri jika pekerja yang berkeluarga. Sementara untuk bisa mendapatkan upah yang besar misalnya Rp 10.000.000 – Rp 11.000,000 harus mengorbankan waktu istrahat dengan mengambil lembur”, Yusman.
Belum lagi persoalan pekerja yang mengalami sakit harus memeriksa ke klinik IMIP dan memberikan bukti Surat Keterangan Sakit (SKS) ke manajemen perusahaan. Jika tidak membuktikan SKS maka pekerja yang sakit di anggap mangkir dan mendapat potongan upah Rp 35.000 – 50.000/hari. Sementara Klinik IMIP biasanya membatasi waktu pelayanan dari pukul 07:00 – 11 :00 malam, bahkan ada sebagian besar pekerja harus mengantri sampai 5 – 6 jam. Kondisi ini para pekerja biasa berobat ke apotik – apotik yang kerja sama dengan klinik IMIP dan harus mengeluarkan biaya 100,000 per satu kali pemeriksaan hingga mendapatkan SKS. Pembatasan waktu pelayanan klinik tersebut karena kurangnya tenaga medis dan pekerja yang berobat tiap hari membludak.
Sementara disisi lain, kecelakaan kerja yang menjadi momok yang menaktukan selalu mengahantui perkerja yang sewaktu waktu dapat terjadi akibat standarisasi sistem K3 diperusahaan yang selalu dikesampingkan oleh setiap perusahaan/tenant yang ada di kawasan IMIP. Hal ini dapat terlihat dari alat kerja yang digunakan kadang tidak sesuai bahkan tidak cukup untuk digunakan dalam sebulan seperti Pembagian Baju, Celana, Sepatu di berikan dalam waktu 5 bulan sekali , Pembagian Helm 2 tahun sekali, Pembagian masker 1 bulan 1 kali masker 3M 15 PCS dalam 1 Dos, Kaos tangan las dan gurinda 1 bulan 1 kali isi 10 pasang PCS dalam 1 Package, Pembagian kaca mata 1 bulan sekali isi 10 PCS yang menurut buruh sangat tidak nyaman bahkan kadang putus saat digunakan. APD kerja yang tidak memadai untuk pekerja mekanik dan furnace (tungku) inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya kecelakaan kerja dan hal ini tidak sebanding dengan tuntutan kerja yang harus dilakukan oleh pekerja dengan 4 sistem kerja yaitu, Reguler istilah para pekerja masuk jam 07 : 00 pagi – pulang 07:00 malam, 3 shift 3 regu dengan sirkulasi waktu kerja 8 jam. 8 ke 8 pertukaran shift, 3 shift 2 regu, dan Longshift 24 jam kerja biasanya ini banyak di departemen driver Drum Truk pengangkut Ore. Material, Limbah, dan Hasil produksi nikel di bawa ke jetty. Bahkan Dalam waktu 8 jam kerja ada 1 jam waktu yang di gunakan untuk lembur wajib. Lembur wajib inilah yang tidak memiliki kejelasan nilai pembayaranya. Tercatat dalam kurun waktu 4 bulan mulai Desember 2023, Januari, Februari, dan Maret 2024 mulai dari kecelakaan lalu lintas 27%, insiden perbaikan 58% dan insiden ledakan produksi 15%.
Demkian juga persoalan konflik agraria yang terjadi kawasan IHIP, masih menjadi persoalan mendasar dari buruknya praktik investasi tiongkok yang berlokasi di Kecamatan Bungku Barat, Morowali ini. Secara umum konsolidasi lahan oleh pihak perusahaan dilakukan dengan cara merampas secara paksa dengan melakukan penimbunan di atas irigasi yang merupakan sumber air untuk lahan pertanian (sawah) warga seperti yang terjadi di Desa Topogaro. Penimbunan yang dilakukan untuk pembangunan jalan houling perusahaan hingga akhirnya berdampak gagal panen bagi petani akibat kekeringan. Praktik terselubung ini dilakukan oleh pihak perusahaan dengan Tujuan menimbun irigasi tersebut agar petani berhenti melakukan aktivitas bertani. Setelah petani kesulitan melakukan aktivitas bertaninya. PT BTIIG/IHIP datang melakukan negosiasi lahan. Karena merasa lahan sudah tidak lagi produktif petani terpaksa menjual lahannya. Ada sebanyak 20 KK petani yang memiliki lahan sawah kurang lebih 170 Ha, saat ini tinggal tersisa 8 Ha sawah dan 2 Ha lahan yang di konversi ke perkebunan.
Sama seperti yang dialami oleh warga yang ada di desa Parilangke dan Bahonsuai ada sebanyak 115 orang nelayan yang kehilangan mata pencaharianya akibat, tidak produktif lagi rumput laut. Semenjak PT BTIIG melakukan penimbunan pantai di Desa Ambunu dan Tondo seluas 40 Ha. Air laut bercampur lumpur dan sampai saat ini budidaya rumput laut tidak berkembang dengan baik serta Desa Ambunu ada sebanyak 14 Ha lahan sawit milik 12 KK masyarakat, di ambil secara paksa oleh perusahaan dengan dalih/ Modus salah gusur.
Rahman Ladanu selaku warga Desa Tondo, Kec. Bungku Barat, Morowali juga sebagai narasumber dalam diskusi tersebut menyampaikan persoalan yang sama dari buruknya praktik investasi tiongkok ini adalah penggunaan jalan tani oleh perusahaan dengan berasaskan MoU sepihak oleh BTIIG dengan pemda tanpa adanya keterlibatan dan sosialisasi terhadap masyarakat yang dinilai sangat merugikan masyarakat yang umumnya adalah petani baik yang ada di desa Topogaro maupun desa Ambunu, hingga saat ini persoalan tersebut belum juga menemukan titik terang.
Potret buruk dan carut marutnya investasi tiongkok ini tidak hanya terjadi di kawasan IMIP maupun IHIP/BTIIG tapi juga terjadi di kawasan SEI Morowali Utara. Aktivitas PLTU Captive Coal Power Plant yang berdampak pada masyarakat Tanauge dalam bentuk penyakit kulit dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mulai dari anak anak hingga orang dewasa. Tercatat untuk dikecamatan Petasia Timur ada sekitar 1750 orang terpapar ISPA per 2023 yang terdiri dari 10 Desa. Berdasarkan data olahan WALHI Sulawesi Tengah di kawasan SEI terdapat 12 unit PLTU Captive yang sedang beroperasi dan Konstruksi total 2.945 MW. PT GNI merupakan pengendali utama. Proyek pembagunan PLTU di kawasan SEI masuk dalam proyek Delong Nickel Phase III setelah tahap I dan II di lakukan di kawasan VDNIP Konawe Sulawesi Tenggara, kawasan IMIP PLTU Captive Coal Power Plant yang sedang beroperasi dan konstruksi total kapasitasnya 5.510 MW yang di kendalikan oleh 10 perusahaan. PT ITSS dan SMI dan kawasan IHIP terdapat 3 unit PLTU Captive dengan total Kapasitas 350 MW. Pengendali utama PT BTIIG. PLTU ini di bagun hanya berjarak 100 – 200 meter dari pemukiman warga di Desa Ambunu dan Tondo.
Yusman dalam diskusi tersebut menyampaikan teknologi RKEF yang digunakan oleh perusahaan Tiongkok (IMIP, IHIP, SEI) ini jelas sangat rakus energi, hal ini dapat terlihat dari penggunaan PLTU Captive dengan kapasitas 8.805 MW yang pastinya akan memobilisasi batu bara ribuan ton sebagai bahan bakarnya. Dan dapat dipastikan angka tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan pembangunan smelter untuk produksi nikel yang ada di kawasan BTIIG/IHIP.
Dikesempatan yang sama juga Arianto Sangadji dalam diskusi tersebut menyampaikan konsep hilirisasi nikel yang terus digembar gemborkan oleh pemerintah terus melahirkan kerusakan lingkungan yang sangat parah mulai dari deforestrasi hingga peningkatan emisi karbon yang diakibatkan dari aktivitas perusahaan, dalam hasil risetnya Arianto Sangadji juga menjelaskan bagaimana rantai pasok dari hilirasi nikel juga melibatkan perusahaan Multinational Corporation (MNC) seperti Tesla, BMW dan perusahaan otomotif yang memproduksi kendaraan listrik yang disuplay dari bahan dasar nikel yang diproduksi di Morowali dan Morowali Utara dengan menggunakan teknolgi RKEF yang sangat rakus energi.
Diakhir diskusi dan peluncuran hasil riset tersebut disimpulkan dengan beberapa poin diantaranya :
- Masifnya Investasi Nikel Tiongkok di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara memicu banyak faktor terjadi seperti ; Kerusakan Lingkungan (Polutan, debu, dan tercemarnya sungai akibat limbah dllnya), Menyampingkan Hak pekerja di dalam kawasan industry, Konsolidasi lahan secara terselubung dan tidak menghargai pranata sosial yang ada.
- Pemerintah Tiongkok lemah dalam mengontrol investasinya, dalam standar BRI semua invetasi harus menjunjung tinggi nilai HAM dan Tata kelola berkelanjutan. Pemerintah Indonesia tidak mampu mengontrol tata kelola investasi nikel tiongkok dalam sebuah regulasi Tata kelola lingkungan, Perlindungan Ketenagan kerjaan Serta penggunaan energi kotor (sangat kontras dengan momintmen NDC dan target penekanan emisi 30%)
- Pemerintah kecenderungan abai dan bahkan terlihat melindungi investasi nikel Tiongkok atas nama hilirisasi nikel lebih memikirkan nilai tambah di bandingkan kesejahteraan masyarakat.
Narahubung : Yusman 0853-4380-6525