Lima belas bulan bukanlah waktu yang singkat, bertahan hidup sebagai penyintas. Setelah diguncang gempa, disapu tsunami dan liquifaksi. Terkatung-katung, tinggal di tenda-tenda darurat, di hunian sementara, bisa makan sekali dalam sehari saja sudah syukur, sungguh jauh dari hidup layak. Sebuah ironi, bagi mereka sepertinya negara tak pernah hadir, lalai lepas tanggung jawab dalam memenuhi hak konstitusional warganya.
Dana bantuan jaminan hidup, santunan duka, dana stimulan, hunian tetap yang dijanjikan pemerintah sampai hari ini belum juga terdistribusi merata. Pemerintah kabupaten/kota telah berkali-kali melakukan pendataan, namun masih saja ada yang luput, banyak korban yang belum masuk dalam data pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Entah berapa anggaran pendataan yang telah dihabiskan. Demikian kompleksnya masalah penanganan korban bencana di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo) menunjukkan kegagapan pemerintah dalam penanganan bencana. Tidak tahu hendak kemana harus mengadu.
Sepertinya ada yang salah sedari awal. Medio Oktober 2018 pemerintah pusat telah menetapkan status bencana gempa, tsunami dan liquifaksi 28 September 2018 di Padagimo Sulawesi Tengah sebagai bencana daerah. Karena itu kewenangan penanganannya ada di tangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sesuai dengan mandat Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Kebencanaan. Artinya penanganan bencana harus mengacu pada Perda Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 02 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Beserta aturan-aturan turunannya, kedua regulasi tersebut memberi amanat agar dalam penanganan bencana mengarusutamakan partisipasi masyarakat korban bencana. Tapi apa hendak dikata, amanat tersebut seakan diabaikan. Masyarakat korban bencana Padagimo tidak pernah dilibatkan secara partisipatif, baik dalam proses perencanaan maupun implementasi.
Namun lain aturan lain prakteknya. Realitas membuktikan bahwa dalam penanganan bencana Padagimo pemerintah pusat membangun ketergantungan dan tidak memberikan sepenuhnya kewenangan penanganan pascabencana kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Distribusi dana bantuan teramat birokratik dan bertele-tele serta sejumlah proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengkonfirmasi ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah. Politisi, birokrat dan pengusaha kontraktor sudah bagi-bagi proyek, sementara hak-hak dasar penyintas terabaikan.
Berbagai janji pemerintah dan kesepakatan di forum-forum dialog multipihak tak kunjung diwujudkan. Maka tak ada pilihan lain kecuali aksi turun ke jalan menggalang dukungan solidaritas masyarakat luas dan mendatangi kantor gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah untuk menuntut pemenuhan hak bagi penyintas. Bertepatan dengan momentum Hari Hak Azasi Manusia 10 Desember 2019, puluhan penyintas dari Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi bersama organisasi masyarakat sipil serta organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Korban Bencana Bersatu menggelar aksi demonstrasi.
Di taman GOR pagi itu, mereka berkumpul dan mulai berorasi. “Pak Gubernur ingkar janji, DPR ingkar janji” pekik yel-yel mengiringi longmarch melewati jalan Soekarno Hatta kemudian berbelok menuju kantor Gubernur Sulawesi Tengah.
Tiba di depan gerbang kantor Gubernur massa aksi disambut puluhan aparat kepolisian dan polisi pamong praja. Para penyintas saling bergantian berorasi menyampaikan aspirasinya. Menjelang siang matahari semakin terik, namun tak menyulutkan semangat para penyintas. Berselang satu jam Kepala BPBD Provinsi Sulawesi Tengah Bartholomeus Tandigala bersama Kepala Dinas Sosial Ridwan Mumu.
Di depan kedua pejabat tersebut korlap aksi Freddy Onora membacakan 10 tuntutan penyintas yaitu :
- Segera lakukan pencairan dana stimulan tanpa tahapan dan tanpa syarat kepada korban bencana
- Berikan kebebasan kepada penyintas untuk memilih relokasi atau dana stimulan
- Berikan segera dana santunan duka kepada keluarga/ahli waris penyintas yang meninggal dunia
- Segera berikan Jadup kepada korban bencana tanpa diskriminasi
- Libatkan masyarakat dalam melakukan validasi data dan penyaluran bantuan secara partisipatif
- Hak keperdataan korban atas tanah tidak boleh dihilangkan dan tetap melekat pada korban
- Berikan kepastian hukum atas kepemilikan huntap
- Berikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap perempuan dan anak serta disabilitas korban bencana
- Libatkan masyarakat dalam penyusunan Ranperda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota.
- Laksanakan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 02 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Sekira dua jam bernegosiasi akhirnya diperoleh kata sepakat. Paling lambat satu minggu ke depan pemerintah provinsi akan mengadakan pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil Sulteng Bergerak bersama perwakilan penyintas untuk memasukkan data korban bencana yang belum masuk ke dalam data pemerintah. Setelah itu akan dilakukan validasi/pengecekan langsung di lapangan.
Aksi kemudian berlanjut ke DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Di depan gedung DPRD massa aksi diterima oleh tiga orang anggota DPRD. Dihadapan massa aksi, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah Fraksi Partai Nasdem Yahdi Basma menyatakan akan menyuarakan agar 10 tuntutan penyintas menjadi agenda penting pembahasan di DPRD Propinsi agar tuntutan tersebut bisa menjadi sikap DPRD Provinsi secara kelembagaan. Bahkan Yahdi Basma bersama kedua rekannya dari Fraksi PKB menandatangani dokumen surat kesepakatan sepuluh tuntutan penyintas. Dari gedung DPRD massa aksi kembali ke Taman GOR dan membubarkan diri.