Salah satu problem utama yang dihadapi petani hari ini adalah ketergantungan terhadap sarana produksi pertanian (Saprodi) yang dikuasai oleh perusahaan korporasi besar. Konsep pertanian revolusi hijau yang diprakarsai oleh rezim orde baru lebih banyak mengandalkan bibit transgenik, pupuk dan racun kimia untuk meningkatkan produksi pertanian ternyata menyisakan banyak masalah bagi petani. Revolusi hijau justru membawa petani jatuh pada jurang pemiskinan.
Terlebih bagi warga desa yang berada wilayah lingkar perkebunan sawit. Lahan-lahan yang dulunya menjadi sentra produksi tanaman pangan dan dikelola secara mandiri oleh petani seketika disulap menjadi perkebunan sawit oleh korporasi. Sementara tanaman sawit adalah tanaman yang rakus air dan menghisap kesuburan tanah. Apalagi pabrik pengolahan buah sawit menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang berimplikasi terhadap tanaman petani yang ada di sekitarnya. Demikianlah kompleksitas masalah yang dihadapi petani di Desa Towiora. Sejak tahun 90-an desa tersebut tengah dikepung kebun sawit milik PT. Lestari Tani Teladan (PT. LTT). Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pabrik pengolahan sawit PT. LTT tak terhindarkan.
Acapkali setiap perampasan dan alih fungsi lahan, perempuan memiliki resiko paling tinggi menjadi korban dibanding laki-laki. Hal ini di sebabkan karena naluri perempuan yang ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya sehingga seringkali mengabaikan keselamatan diri. Selain itu, perempuan juga masih minim mendapatkan informasi dan pengetahuan untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Mereka kehilangan sumber ekonominya membuat perempuan pada posisi paling rentan. Perempuan yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit dilanggar hak-haknya.
Demikian kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan di wilayah lingkar perkebunan sawit. Situasi ini membuat kesadaran perempuan untuk memastikan keberlanjutan hidup dan masa depan anak-anaknya, lahan-lahan yang tersisa mereka olah mengelolah kembali lahan mereka agar menjadi lahan yang produktif yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman konsumsi dapur mereka. Olehnya itu penting bagi mereka untuk menngelola pertanian secara mandiri tanpa ada ketergantungan terhadap pertanian ala revolusi hijau.
Melihat kondisi ini WALHI Sulawesi Tengah membangun kesepakatan dengan kelompok perempuan Desa Towiora untuk mengembangkan pertanian organik sebagai salah satu strategi pengembangan sumber mata pencaharian pertanian untuk memastikan keberlanjutan penghidupan perempuan di wilayah lingkar perkebunan sawit.
Kegiatan ini diselenggarakan selama 3 hari dari Kamis – Sabtu, tanggal 22 – 24 oktober 2020 bertempat salah satu rumah warga Desa Towiora. Kegiatan ini diikuti oleh 24 orang peserta yang merupakan perempuan petani Desa Towiora. Dimana di hari pertama para peserta diajak secara partisipatif untuk menggambarkan situasi wilayah lingkar perkebunan sawit. Terutama kaitannya dengan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Towiora dan implikasinya terhadap kehidupan perempuan.
Sementara itu pada hari kedua mereka diajak untuk menggambar peta wilayah desa secara partisipatif untuk melihat lahan-lahan yang masih tersisa dan berpeluang untuk dikelola oleh kelompok tani perempuan dan menemukan potensi serta ancamannya.
Pada hari ketiga para peserta dibekali pengetahuan untuk membuat pupuk organik yang mayoritas bahan-bahan alami yang bisa didapatkan di dalam kampung. Batang pisang, daun gamal, air kelapa, air cucian beras, gula dan EM4. Dalam sesi ini semua peserta bertugas membawa 500 ml air kelapa dan 500 ml air cucian beras.
Untuk mengolah bahan-bahan alami tersebut menjadi pupuk organik, mereka membagi diri dalam tiga kelompok. Kelompok pertama ditugaskan untuk mencuci alat dan bahan, karena dalam pembuatan pupuk organik ini. Karena semua bahan harus dalam kondisi yang bersih untuk meminimalisir tingkat kontaminasi jamur atau bakteri jahat.
Sementara kelompok kedua ditugaskan untuk mengumpul dan mencacah serta membersihkan bahan seperti batang pisang, daun gamal dan bahan lainnya. bahan-bahan yang sudah dicuci bersih kemudian ditimbang sesuai takarannya. Bahan-bahan tersebut lalu dimasukan didalam satu wadah ember berkapasitas 250 liter. Langkah berikutnya diberi EM4 untuk mempercepat proses pembusukannya.
Sesi selanjutnya Manager Advokasi WALHI Sulteng sebagai fasilitator memberikan penjelasan tentang kandungan dari masing-masing bahan serta unsur yang akan dihasilkan. Dimana terdapat unsur dasar yang dibutuhkan oleh tanah seperti NPK.
Untuk menghasilkan fermentasi yang maksimal, ember tersebut di tutup rapat agar bahan yang sudah dicampur berada dalam kedap udara dan akan dibuka setiap 3 hari sekali, diaduk untuk mengeluarkan gasnya. Sampai hari ke-14 pupuk organik cair ini siap untuk disemprotkan ke tanaman.