Perampasan tanah dan kriminalisasi oleh Badan Bank Tanah: Koalisi Kawal Pekurehua laporkan ke Kementerian HAM, Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM hingga Komnas Perempuan

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

28-04 September 2025, Koalisi Kawal Pekurehua yang tergabung dalam advokasi Badan Bank Tanah (BBT) terdiri dari WALHI Sulteng, Solidaritas Perempuan, SLPP, WALHI Nasional, KPA Nasional, AMAN Nasional, dan JKPP bersama 17 orang terdiri dari Masyarakat Watutau, melakukan audiensi ke lembaga-lembaga nasional yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM RI), Kementerian Hak Asasi Manusia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Komnas Perempuan, untuk menyampaikan kerugian-kerugian materiil dan immateriil yang dirasakan Masyarakat Watutau dari adanya Badan Bank Tanah (BBT).

Masyarakat Watutau hidup dari lahan pertanian dan perkebunan yang dikelola secara turun-temurun. Tanah tersebut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga ruang identitas dan budaya serta keberlanjutan kehidupan generasi mereka. Namun, keberadaan BBT yang mengklaim tanah adat sebagai objek penguasaan negara telah memunculkan ketegangan sosial, penggusuran paksa, hingga praktik kriminalisasi terhadap warga yang menolak tanahnya diklaim secara sepihak oleh BBT.

Salah satu pejuang masyarakat adat, Christian Toibo, kini menjadi korban kriminalisasi setelah dikenakan sangkaan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghasutan. Tuduhan ini muncul usai aksi damai yang digelar masyarakat pada 31 Juli 2024 di Desa Watutau. Bagi masyarakat Watutau, tuduhan ini adalah upaya sistematis untuk membungkam perlawanan warga dan melemahkan perjuangan mempertahankan hak-hak adat mereka.

“Penggunaan Pasal 160 KUHP terhadap aksi damai jelas merupakan bentuk represif. Apa yang kami lakukan semata-mata untuk mempertahankan ruang hidup masyarakat adat, bukan untuk menghasut orang melakukan kejahatan. Justru konstitusi kita menjamin hak atas tanah, hak menyampaikan pendapat, dan perlindungan terhadap masyarakat adat,” tegas Christian Toibo dalam keterangannya.

Sunardi Katili Direktur WALHI Sulawesi Tengah menegaskan bahwa konflik BBT di wilayah Watutau tanpa henti dikriminalisasi. “Masyarakat mendapatkan tekanan, mulai dari pemasangan patok tanpa adanya keterbukaan informasi, pendekatan militeristik yang masif, hingga stigma negatif terhadap warga yang mempertahankan lahannya. Situasi ini sangat membahayakan, karena bukan hanya mengancam hak hidup masyarakat, tetapi juga menutup ruang demokrasi,” jelasnya.

WALHI juga menekankan bahwa konflik agraria yang dipicu oleh proyek-proyek strategis negara, termasuk Bank Tanah, kerap menjadi pintu masuk pelanggaran HAM. Negara seharusnya hadir untuk melindungi masyarakat, bukan justru menjadi bagian dari praktik perampasan ruang hidup.

“Negara bahkan tidak mengakui keberadaan Masyarakat Adat Watutau. Dengan dalih proyek strategis nasional (PSN) penyangga pangan, negara justru melakukan pendekatan represif. Praktik ini tidak hanya merampas hak-hak masyarakat adat, tetapi juga memberikan dampak psikologis mendalam bagi perempuan yang mengalami ketakutan, trauma dan kehilangan rasa aman,” ungkapnya. Menambahkan bahwa kriminalisasi dan pendekatan militeristik terhadap Masyarakat Adat Watutau berdampak lebih berat pada perempuan.

Perempuan Adat Watutau mengungkapkan, tindakan semena-mena BBT mengklaim tanah produktif masyarakat, “Kami anggap mereka pencuri karena tidak ada informasi atau sosialisasi untuk menetapkan pal BBT, tiba-tiba ketika kami ke kebun ada papan BBT. Karena itu, adat istiadat kami ketika ada pencuri masuk di lokasi kami, kami harus melakukan hukum namun yang kami alami adalah BBT yang memberikan sanksi kepada masyarakat.”

Persoalan lainnya dari kehadiran BBT terhadap peran penting perempuan dalam pengelolaan lahan pertanian, ikut terdampak akibat hilangnya akses terhadap sumber penghidupan keluarga yaitu biaya hidup sehari-hari untuk sandang, pangan, papan, hingga pendidikan dan ruang sosial masyarakat.

Nona Ragi dari Solidaritas Perempuan Palu menekankan, “Apa yang dilihat negara saat ini, sementara negara bukan melindungi tapi mendiskriminasi kami yang hidup di sekitar hutan, hidup sebagai petani. Suara kami hanya dibutuhkan ketika pemilihan tetapi kebijakan saat ini membatasi akses dan kontrol perempuan terhadap benih lokal. Kami dipaksakan mengikuti sistem negara.” Sementara,Komisioner Komnas Perempuan menegaskan, “Ada cacat prosedur dalam penetapan HPL Bank Tanah.

Koalisi Kawal Pekurehua bersama organisasi masyarakat sipil menilai bahwa Komnas HAM RI, Kementerian HAM, Kementerian ATR/BPN, Komnas Perempuan. memiliki peran strategis dalam menghentikan praktik pelanggaran HAM di Watutau dan membatalkan HPL BBT.  menghasilkan sejumlah desakan, yaitu :

  1. Komnas HAM segera menyurati Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resor (Polres) Poso untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Watutau.
  2. Meminta Komnas HAM mengeluarkan surat perlindungan resmi bagi seluruh masyarakat Watutau yang tengah berkonflik dengan Badan Bank Tanah.
  3. Meminta Kementerian HAM berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan Badan – Badan Pemerintah yang terkait dengan permasalahan BBT dan Masyarakat Watutau.
  4. Mendesak Kementerian ATR/BPN untuk meninjau kembali penetapan HPL BBT Desa Watutau Kecamatan Lore Peore Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah
  5. Mendesak Komnas Perempuan agar segera menindaklanjuti Laporan pengaduan kasus BBt yang dilakukan Solidaritas Perempuan Palu dan segera melakukan verifikasi dan investigasi ke  Desa Watutau kecamatan Lore Peore Kabupaten Poso bersama Polres Poso dan BBT

Narahubung

0822-1553-4058 : Wandi WALHI Sulawesi Tengah

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :