Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu melakukan aksi demonstrasi, untuk bersolidaritas terhadap petani Rio Pakava, Frans Alias Hemsi yang dikriminaliasi oleh PT. Mamuang anak Perusahaan Astra Grup.
Selain itu, bertepatan dengan momentum hari hak asasi manusia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2018, mereka juga meneriakan beberapa persoalan HAM di Indonesia yang hingga saat ini tak kunjung selesai.
Adit, Kordinator Lapangan menerangkan bahwa, masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang sampai saat ini belum juga dituntaskan. Mulai dari kasus 65-66, kasus penculikan serta penembakan aktivis ditahun 1998.
Kasus Marsinah, Talangsari, Tanjung Priok, Kendeng, Rembang, kasus pencemaran PT. Rum dan kasus-kasus yang terjadi disektor agraria lainya.
Menurut dia, masih banyaknya kasus kekerasan di Indonesia, adalah cerminan bahwa, negeri ini belum sepenuhnya terbebas dari pelanggaran hak asasi manusia.
Kriminalisasi Petani Adalah Pelanggaran Ham
Masih tingginya kasus pelanggaran HAM di Indonesia, menjadi catatan penting dipenghujung tahun 2018 ini.
Dalam orasinya Manager Kampanye Walhi Sulteng, Stevandi menjelaskan bahwa, apa yang dihadapi oleh Hemsi saat ini, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia disektor agraria.
Hemsi dilaporkan atas kasus pencurian dilahannya sendiri, serta kasus perusakan oleh PT. Mamuang anak perusahaan Astra. Alhasil, status Hemsi saat ini telah ditingkatkan menjadi tersangka oleh pihak kepolisian Pasangkayu, Mamuju Utara.
Menurut pengakuan Hemsi, justru Mamuanglah yang datang merampas lahanya. Pada tahun 2000, ia bersama orang tuanya membuka lahan di desa Panca Mukti. dengan legalitas surat-SKPT dan SPPT yang dikeluarkan oleh kepala desa Lalundu saat itu.
Pada tahun 2004, Hemsi melakukan penanaman buah sawit dilahanya tersebut. Pada tahun 2006, perusahaan PT. Mamuang masuk melakukan aktivitas di desa Martajaya yang notabenya berada di Sulawesi Barat.
Puncaknya pada tahun 2008, Hemsi melakukan Panen pertama kali. Saat panen tersebut, pihak perusahaan datang bersama aparat untuk menagkap Hemsi karena dituduh mencuri. Tanpa alasan yang jelas, dan tanpa menujukan bukti-bukti, Hemsi langsung diseret, dipukul, dicekik dan rusuknya dipukul dengan senjata.
Akibat penganiyayaan itu, Hemsi mengalami luka serius dan sakit yang cukup parah dibagian rusuk, sehingga untuk bernapas saja sangat sulit. Saat itu, Hemsi meminta untuk dilakukan Visum, tapi tidak dizinkan oleh pihak kepolisian. Alhasil, dia ditahan dengan kondisi yang memprihatinkan. Sialnya, saat penangkapan itu, hasil panen Hemsi dirampas pula oleh kepolisian. Sudah dipukul, dipenjara, hasil panennya juga diambil.
Situasi yang dialami Hemsi ini, seperti terjadi dimasa kolonial. Tatkala Belanda datang di nusantara dan melakukan perampasan kepada rakyat pribumi, ketika melawan, mereka akan disiksa.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, tepatnya tahun 2017 lalu, Hemsi kembali dilaporkan oleh PT. Mamuang dengan tuduhan pencurian dan pengrusakan. Tuduhan pengrusakan tersebut dimulai ketika Hemsi melakukan panen buah sawit dilahanya. Saat itu, dia didatangi oleh salah satu centeng perusahaan yang melarang Hemsi melakukan panen, alhasil, Hemsi yang tersulut emosi merusak motor centeng tadi atas dasar mempertahankan haknya.
Dari kejadian ini, Hemsi dilaporkan lagi oleh pihak perusahaan. Dan saat ini, dia telah ditetapkan menjadi tersangka oleh kepolisian pasang kayu dengan tuduhan pengrusakan dan pencuruian dilahannya sendiri.
Kasus Hemsi ini hanya sebagian kecil dari berbagai kasus kriminalisasi yang terjadi di Rio Pakava. Beberapa bulan lalu juga, terdapat empat petani yang dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu.
Berdasarkan data dari Konsersium Pembahuruan Agraria, sepanjang tahun 2017, terjadi 659 kasus konflik agraria di Indonesia. dari seluruh sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi pertama yaitu ada sebanyak 208 konflik, atau 32 persen dari seluruh jumlah konflik yang ada.
Data dari Komisi Untuk Korban Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) merilis kasus-kasus pelanggaran HAM selama tahun 2018. Dalam catatan Kontras, selama bulan Januari hingga Oktober 2018, kasus pelanggaran HAM di sektor SDA menjadi yang tertinggi, dengan jumlah 194 kasus.
Apa yang dialami oleh Hemsi tersebut adalah bentuk pelanggaran Ham disektor agraria. Sayangnya, sampai saat ini, negara justru mengakomodir pelanggaran HAM tersebut lewat perangkat represifnya (TNI/Polri) dibeberapa tempat.
Disamping itu, Pengadilan yang digadang-gadang menjadi pintu akhir penegakan hukum, justru terkesan tidak berpihak pada petani. Penegakan hukum yang tidak adil ini, berimbas pada tingginya angka kriminalisasi di Indonesia.
Perlu Pembetukan Tim Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Disektor Agraria
Masih tingginya angka pelanggaran ham disektor agraria, menjadi pekerjaan yang perlu diprioritaskan oleh negara saat ini.
Noval, dari Konsorsium Pembaharuan Sulawesi Tengah, saat berorasi didepan DRPD Sulteng, menjelaskan, pada tanggal 27 September 2018 lalu, pemerintah menerbitkan Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Ini merupakan suatu kemajuan ditengah pesismisme gerakan rakyat terhadap penegakan reforma agraria di Indonesia.
Sekalipun begitu, Perpres ini menurut dia, belum sepenuhnya sempurna. Masih perlu masukan atau kritikan-kritikan, sebagai bentuk pembaharuan dari regulasi reformasi agraria tersebut. Hal ini sebagai dasar untuk menjawab persoalan rakyat secara khusus disektor agraria. Dari mengurai kemiskinan, mengurangi ketimpangan agraria dan mestrukturisasi seluruh penguasaan dan kepemilikan lahan.
Menyikapi hal tersebut, menurut Noval, “gugus tugas reforma agraria ditingkat Propinsi yang diamanatkan dalam Perspres tersebut, untuk saat ini belum harus dibentuk. Atau bila dia dibentuk, minimal peran dan fungsinya dirubah. Misalnya peran dan fungsi soal penyelesaian konflik agraria lintas kabupaten. Yang perlu dimaksimalkan itu, GTRA ditingkat kabupaten, dengan catatan, kordinasi antara masyarakat sipil dan pemerintah yang perlu diintensifkan”.
Selain itu, dia menambahkan, GTRA yang ada, seharusnya dikordinatori langsung oleh Presiden bukan Menteri Kordinator perekonomian.
Ini supaya, Presiden dapat langsung menginstruksikan jajaran dibawahnya termasuk Pemda, dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Bila GTRA ini dipimpin oleh Menko Perekonomian, kami pesimis konflik agraria akan terselesaikan. Sebab penyelesaiaan konflik agraria nantinya hanya akan bersifat sektoral. ujar Noval.
Aksi yang mengambil titik di depan DPRD Propinsi-Mapolda Sulteng dan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah ini mendapatkan pengawalan yang ketat dari pihak kepolisian.
Dengan menyanyikan lagu perjuangan, mereka terus bergantian untuk menyampaikan orasi-orasi politik dari tiap-tiap lembaga sampai aksi mereka selesai. (K.E)