RCA Tolak Pembangunan PLTU Kapasitas 9 Gigawatt

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Renewable Celebes Alliance (RCA) terdiri dari Walhi Sulteng, Walhi Sulsel dan Walhi Sultra, konfrensi pers bertempat di Jazz Hotel Palu (16/2/2023)

Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang nantinya menggunakan batu bara berkapasitas 9 gigawatt di empat provinsi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga provinsi Maluku Utara mendapat penolakan keras dari Aliansi Sulawesi Terbarukan atau Renewable Celebes Alliance disingkat RCA.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam RCA, menyatakan sikap mereka dalam jumpa pers paska meeting regional bertempat di Jazz Hotel, Jalan Zebra II, Birobuli Utara, Palu Selatan pada 16 Februari 2023 lalu.

RCA menilai jika semua rencana pembangunan PLTU mendapat lampu hijau, maka rakyat sekitar PLTU akan sangat terkena dampak lingkungan secara khusus akibat kerusakan ekologis dan secara umum pulau Sulawesi jadi tercemar dan rusak berat. Jangan lupakan pula faktor kesehatan rakyat juga akan terganggu.

“Pembuangan limbah yang dihasilkan dari proses smelter berupa limbah cairan panas yang dibuang langsung ke laut berpengaruh kepada ekosistem laut, rusaknya terumbu karang bagi habitat kehidupan ikan dan biota laut lainnya dan juga rusaknya ekosistim hutan mangrove. Selain itu penggunaan batu bara dalam proses smelter berpengaruh terhadap udara dan polusi di Morowali dan Morowali Utara,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah Sunardi Katili.

Menyambung apa yang disampaikan Sunardi Katili, Muhammad Al Amin Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Selatan menyatakan bahwa skenario pembangunan megaproyek tersebut guna menyuplai kebutuhan listrik dalam smelter nikel di pulau Sulawesi.

Menurut Al Amin, ada kecenderungan pembangunan PLTU berbasis batu bara untuk menopang smelter nikel di Sulawesi terjadi secara masif beberapa tahun belakangan.

Tren itu tentu saja terkait melimpahnya kandungan nikel yang tersimpan di seantero pulau Sulawesi. Sementara permintaan terhadap nikel melonjak drastis lantaran jadi material inti pembuatan baterai mobil listrik yang sedang menjadi tren global.

Solidaritas Perempuan (SP) Palu sebagai kelompok perempuan yang hadir pula dalam konferensi pers, berpendapat bahwa banyaknya pembangunan PLTU juga berdampak dengan kehidupan perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Kehadiran PLTU demi mendukung kegiatan smelter nikel telah mengubah bentang alam dan menghancurkan keanekaragaman hayati hutan dan kehidupan air. Pun merampas lahan yang selama ini jadi andalan pemenuhan bertahan hidup rakyat sekitar.

Kedepan RCA akan meminta untuk merevisi regulasi pemerintah yang tertulis dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, sebab akar permasalahan dari megaproyek ini berlandasakan Perpres tersebut.

Al Amin menambahkan bahwa kegiatan smelting hanya akan mendorong laju deforestasi atau penebangan perambahan hutan untuk pengerukan material alam. “Jadi sama saja menambah karbon.”

Penilaian yang menyebut adanya perusahaan besar di suatu daerah justru bisa mendatangkan keuntungan dengan bertambahnya pendapatan lewat pajak, Sunardi Katili mengungkap bahwa dalam prakteknya tidak demikian.

“Faktanya yang kita lihat kebutuhan dasar juga belum terpenuhi oleh APBD. Kami melihat belum maksimalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan serta hak-hak dasar rakyat lainnya,” pungkas Sunardi Katili.

Diketahui, berdasarkan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 21 juta ton atau 22,3% dari cadangan nikel dunia. Menyusul kemudian Australia (21,3%), Brazil (17%), dan Rusia (7,3%). Sebanyak 90% cadangan nikel Indonesia tersimpan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara hingga Maluku Utara***.

 

Facebook
Twitter