“Uelincu : Mendorong Pengakuan Negara Di Sudut Hutan Sulawesi Tengah”

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Penulis : “StV”

Staf Yayasan Panorama Alam Lestari

Beta Laweangi (62 duduk di deretan kursi paling depan saat sosialisasi Perhutanan Sosial digelar (16/12/2024). Wajahnya menunjukkan keresahan, saat Ishak (34), dari Yayasan Panorama Alam Lestari (Y.PAL) menampilkan data wilayah Desa Uelincu yang nyaris seluruhnya dikepung oleh dua izin konsesi perusahaan kayu: PT. Tri Tunggal dan PT. Riu Mamba.

Pertemuan yang tadinya tenang seketika berubah jadi gaduh. Sesama masyarakat saling bertanya menggumamkan rasa tidak percaya, heran, hingga marah. Ada yang bicara soal legalitas, asal-usul perusahaan dan tentang masa depan desa. Kecemasan mulai terpancar dari wajah beberapa peserta pertemuan, seperti asap tak kasat mata namun pekat terasa.

Di tengah ketegangan itu, Beta Laweangi angkat tangan. Dengan nada lantang ia menyuarakan keresahaannya; PT. Tri Tunggal, torang sudah tahu dari dulu. Tapi Riu Mamba, tidak ada yang tahu kapan dan dari mana dia datang. Tidak ada sosialisasi, tidak ada kabar tiba-tiba so muncul”.

Ucapan Beta memicu respons dari masyarakat lain. “Yang satu saja sudah bikin susah, ini datang lagi yang lain tanpa permisi”. Ujar salah seorang peserta dengan nada tinggi.

Masyarakat Uelincu tidak hanya merasakan keterkejutan, tapi juga ketidakberdayaan. Bagi mereka, keberadaan dua perusahaan justru bisa membawa petaka. Ini berkaitan dengan pembatasan akses hutan, hilangnya ruang hidup yang sudah diwariskan turun temurun dan ketidakpastian masa depan masyarakat Uelincu.

Pertanyaan paling penting muncul dari salah seorang peserta yang terdengar di pojok ruangan pertemuan; “Jadi bagaimana torang ini, apa yang bisa torang buat supaya torang pe masa depan bisa bagus?”.

Pertanyaan itu membuat suasana hening. Tapi memang benar, jika situasi kegamangan ini terus dibiarkan, maka bukan cuma hutan yang hilang, tapi cara hidup masyarakat Uelincu. Hubungan mereka dengan tanah, dengan pohon, dengan sungai dan bisa jadi dengan sejarahnya sendiri.

Kini, masyarakat Uelincu berdiri di persimpangan. Antara keterbatasan sekarang dan masa depan yang perlu diperjuangkan. Sosialisasi ini tidak sekedar ruang berbagi informasi, tetapi juga menjadi titik awal untuk mempertanyakan dan menegosiasikan masa depan ruang hidup bersama.

Perhutanan Sosial Sebagai Alat

Menanggapi kegelisahan yang muncul dari masyarakat Desa Uelincu, Yopy, Direktur Y.PAL mengambil peran dalam menjelaskan sebuah jalan keluar bagi pengakuan hak kelola masyarakat.

Sejak tahun 2024, Y.PAL sudah mendampingi masyarakat Uelincu. Y.PAL menyaksikan dinamika ruang hidup yang semakin menyempit akibat ekspansi konsesi. Bagi Yopy, penting untuk Y.PAL menawarkan jalan keluar. Bukan sekedar solusi teknis, tapi arah bagi masa depan desa melalui Perhutanan Sosial sebagai skema perlindungan kawasan dan hak kelola masyarakat.

“Perhutanan Sosial bukanlah jawaban final dari seluruh persoalan,” ujar Yopy tegas, “tetapi ini adalah satu-satunya alat legal yang sekarang dapat kita dorong untuk menjaga Uelincu dari ancaman konsesi yang rakus lahan. Skema ini bisa jadi tameng sekaligus jalan supaya memastikan masyarakat tetap memiliki akses atas ruang hidupnya”.

Dalam suasana yang sudah tenang, Yopy memaparkan dengan detail konsep dasar dan ragam bentuk skema perhutanan sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan), hingga tahapan pengajuan dan proses legalisasinya.

Penjelasan itu memberikan pandangan baru bagi masyarakat Uelincu yang sebelumnya belum familiar dengan istilah Perhutanan Sosial.

Namun, tentu saja keraguan masyarakat Uelincu masih ada. Sebagian bertanya dengan kebun mereka yang sudah sejak lama ada dalam kawasan hutan. Apakah masih bisa dikelola atau tidak?.

Pertanyaan-pertanyaan itu mencerminkan satu hal penting. Masyarakat tidak menolak ide perubahan. Mereka Cuma ingin kepastian bahwa perubahan itu tidak menghapus hak mereka soal ruang hidup yang sudah diwariskan sejak lama.

Yopy menanggapinya dengan tenang. Ia bilang bahwa masyarakat yang sudah membuka dan kelola kebun dalam kawasan bisa tetap dilindungi sepanjang tetap menghormati prinsip keberlanjutan.

Ia juga mendorong masyarakat Uelincu untuk melihat hutan bukan cuma sebagai sumber ekonomi, melainkan sebagai ruang hidup yang saling terhubung; manusia, air, tanah dan makhluk lain yang hidup di dalamnya. “Jadi Perhutanan Sosial bukan cuma soal mengamankan wilayah,” ungkap Yopy “tapi tentang membangun masa depan di mana masyarakat dan alam bisa tumbuh harmonis. Di situlah masyarakat Uelincu bisa mengambil kembali kendali atas nasibnya sendiri”.

Pertemuan hari itu tidak selesai dengan keputusan mutlak. Tetapi paling tidak skema Perhutanan Sosial telah disetujui oleh masyarakat untuk didorong di sana. Ini menggambarkan benih-benih kesadaran mulai tertanam pada masyarakat Uelincu, di tengah bayang-bayang konsesi yang terus jadi ancaman.

Menata Jalan Masa Depan

Pertemuan hari itu tidak hanya jadi ruang sosialisasi. Namun berubah jadi ruang belajar agar masyarakat dapat memahami bagaimana mempertahankan ruang hidup. Tidak hanya soal menolak, tapi juga membangun kekuatan legal serta sosial untuk mengelola.

Diskusi mulai berkembang. Sejumlah tokoh masyarakat mulai menyampaikan pemikiran masing-masing. Mereka bicara tentang pentingnya memahami peta wilayah dan membentuk satu kelompok yang akan bekerja mendorong Perhutanan Sosial di Uelincu.

Hal lain yang jadi pembicaraan serius adalah bagaimana menjaga hutan agar tetap lestari tapi tetap memberi manfaat ekonomi untuk masyarakat.

Pembicaraan terus mengalir. Pemahaman perlahan mulai tumbuh soal Uelincu tidak lagi mesti berjalan seperti biasa. Ancaman kian nyata, begitu pula peluangnya. Perhutanan Sosial yang awalnya terdengar asing mulai dimengerti sebagai alat yang dapat digunakan untuk memastikan keberlanjutan di Uelincu.

Dalam suasana yang hangat namun serius itu, lahirlah kesepakatan awal. Desa Uelincu akan mulai memetakan wilayah kelola masyarakat secara partisipatif. Mereka akan menyusun langkah penguatan kapasitas masyarakat dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang akan difasilitasi oleh Yayasan Panorama Alam Lestari.

Selain itu, masyarakat Uelincu juga akan menyusun dokumen legalitas dalam mendorong skema Perhutanan Sosial di sana. Mulai dari Surat Keputusan, proposal permohonan dan lain sebagainya. Dalam prakteknya mereka juga akan jalin komunikasi dengan pemerintah dan lembaga terkait untuk memudahkan proses pengajuan izin Perhutanan Sosial. Proses ini memang panjang, tapi bagi mereka ini adalah jalan menuju masa depan yang mereka pilih sendiri.

Yopy menutup pertemuan dengan satu pernyataan; “Jika kita ingin Uelincu tetap hidup dan mewariskan kebaikan kepada generasi akan datang, maka hari ini adalah waktunya bertindak. Bukan menunggu”. Kalimat ini familiar, entah Yopy mengutipnya dari mana.

Uelincu barangkali hanya desa kecil di sudut hutan Sulawesi Tengah, tetapi apa yang terjadi di sana merupakan potret dari perjuangan panjang banyak wilayah adat dan desa-desa hutan lain di Indonesia. Pertarungan antara pengerukan dan kelestarian, antara sikap acuh dan keberpihakan, antara pasrah dan merancang masa depan.

Masa depan Uelincu tidak dibangun dengan angan-angan, tetapi dengan langkah nyata yang ditopang oleh kesadaran kolektif dan semangat melindung apa yang tersisa.

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :