AIR MINUM TAK LAYAK KONSUMSI

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Pada 26 Oktober 2024, kami mendatangi kediaman Ibu Selvi di Dusun Kurisa Desa Fatufia, Bahodopi Kabupaten Morowali. Sore itu, sejumlah orang meriung menyiapkan hajatan untuk kerabat yang menikah di usia dini, 15 tahun. Sebagian orang lainnya tampak tergopoh membopong galon air dalam jumlah banyak. Di ruang tengah, berjejal dengan air kemasan. ‘’Begitulah kami di sini, sudah tidak bisa dapat ikan, air tidak tidak bisa juga diminum.’’ cerocos Ibu Selvi.  Airnya keruh kekuningan. Jika digunakan mandi badan gatal gatal. Timbul bintik-bintik di sekujur tubuh. Padahal sela ibu Hanisa, jauh sebelum industri nikel dan PLTU, air di lingkungannya sangat bersih dan layak dikonsumsi.

Ditanya kompensasi perusahaan terhadap kerusakan ekosistem di desanya, keduanya mengaku kini kompensasi itu tidak ada lagi. Atau, jika ada kompensasi tidak sepadan dengan penderitaan yang mereka alami. Pada awal-awal perusahaan beroperasi, pernah memberikan kompensasi ‘’uang debu’’ sebesar Rp3,5 juta/tahun dan ‘’uang limbah’’ senilai Rp1 juta/tahun.  ‘’Tapi sekarang uang itu tidak ada lagi. tidak tau kenapa,’’ herannya.

Namun, bagi warga di Dusun Kurisa mereka sebenarnya tidak mengemis mendapatkan kompensasi yang dinilai tidak manusiawi tersebut. Mereka hanya butuh lingkungan yang mendukung aktivitas warga. Air laut sebagai ladang mata pencaharian dan air minum sehat yang tidak terkontaminasi. ‘’Hanya itu yang kami butuhkan. Selebihnya biar kami urus sendiri,’’ ungkap Ndaing yang terlihat tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Ibu Selvi dan Ibu Hanisa sebagai perempuan pesisir yang sejak lahir terbiasa membaca arus dan gelombang, kini kehilangan napas kehidupan dari laut yang dulu mereka cintai. Pantai mereka di Dusun Kurisa tak lagi jernih. Terpapar limbah tambang dan PLTU yang memudarkan warisan alam yang dahulu menjadi sandaran hidup.

Perempuan di kawasan pesisir pantai Dusun Kurisa yang hidupnya selalu berirama dengan laut, kini tak lagi bisa menikmati berkah yang dulu menjadi jantung kehidupan mereka. Di antara ombak yang berubah asing, mereka menyimpan cerita tentang laut,  tentang anak-anak yang lahir di atas perahu dan tentang hari-hari yang berlalu dengan senyum penuh syukur. Kini, harapan mereka adalah laut bisa kembali pulih, agar anak-anak Bajo kembali mengenal lautan yang menjadi nafas leluhur mereka.

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :