Diskusi Publik: Lonjakan Hilirisasi Nikel Simtem K3 Diabaikan

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

O2 September 2024 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng, Serikat Pekerja  Industri Morowali (SPIM) dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) kolaborasi menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Lonjakan Hilirisasi nikel Sistem K3 di Abaikan” kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Diskusi perdana yang digelar Desa Labota Kec Bahodopi Kab Morowali Sulawesi Tengah menghadirkan narasumber Sekjen Serikat Pekerja Industri Morowali Abdul Kadir Jaelani dan Direktur Yayasan Tanah Merdeka Richard Labiro. Diskusi secara Hybrid offline ini dihadiri 26 orang, berasal dari serikat pekerja yang di IMIP, Kelompok Pemuda dan Masyarakat Labota.

Diskusi tersebut berangkat dari program hilirisasi nikel sebagai strategi pemerintah meningkatkan nilai tambah melalui pengembangan industri hulu dan hilir.  Sejalan dengan peningkatan pembangunan PLTU captive Coal Power Plant yang gila-gilaan, dengan kapasitas PLTU captive di Morowali dan Morowali Utara yang beroperasi dan konstruksi mencapai 8.345 Mw atau 8,4 Gw di dalam kawasan  industri untuk memproduksi nikel dengan metode RKEF dan HPAL, menyebabkan polutan yang luar biasa . tidak sedikit orang menderita penyakit ISPA dan gangguan kebisingan.

Begitu pula dengan pekerja di kawasan IMIP rentan mengalami penyakit serupa seperti ISPA, gatal-gatal, dllnya. Sebagai garda terdepan melakukan produksi, justru diabaikan sistem K3 dalam perusahaan yang sering terjadi potensi akibat kerja, PHK sepihak, pelarangan berserikat, sistem pengupahan yang tidak manusiawi, jaminan kesehatan, serta relasi kuasa antara pekerja asal tiongkok dan pekerja lokal. Menjadi problem hampir sebagian besar tidak pernah terselesaikan hingga saat ini.

Turut membeberkan penerapan Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3) dalam kawasan juga perlu perhatian khusus, saat ini setidaknya setiap hari pasti terjadi kecelakaan baik ringan maupun parah yang pastinya pekerjalah yang dirugikan. Ujung-ujungnya pihak pekerja lagi yang disalahkan karena kelalaian pekerja yang akhirnya  mendapatkan sanksi, bahkan parahnya sanksi ganti rugi yang dibebankan kepada pihak pekerja. Yang perlu digaris bawahi apakah sistem K3 sudah benar langkah perumusannya ? seperti salah satunya Standar Operasional Prosedur (SOP) kerja, dalam kawasan yang saat ini hanya diatur sistem manajemen. Kami menilai menilai sistem manajemen tersebut jauh dari harapan para pekerja untuk mengatur pelaksanaan pencegahan kecelakaan kerja dalam kawasan tutur Abdul Kadir Jaelani  Sekjen Pekerja Industri Morowali.  Lanjut

Richard Labiro Direktur Yayasan Tanah Merdeka Eksternalisasi risiko PLTU Captive yang menopang lonjakan industri nikel di Morowali adalah manifestasi nyata dari eksploitasi kapitalisme terhadap buruh. Dalam upaya memaksimalkan profit. Industri ini mengabaikan keselamatan pekerja, yang terpapar penyakit akibat kerja dan gangguan pernapasan akut. Situasi ini menuntut kesadaran ekonomi politik yang lebih dalam kalangan buruh, agar mereka memahami bahwa ketidakadilan ini adalah hasil dari hubungan produksi yang timpang, di mana modal terus menindas tenaga kerja demi akumulasi kapital. Hanya dengan membangun solidaritas kelas, buruh dapat melawan dan merebut kembali hak-hak mereka yang terampas.

Dampak PLTU  captive dengan eksternalisasi risiko sangat merugikan masyarakat dan pekerja. Perusahaan memindahkan beban biaya kesehatan akibat  polusi udara dan penyakit pernapasan ke bahu buruh dan warga sekitar, yang harus menanggung biaya pengobatan sendiri. Alih-alih menanggung dampak negatif dari operasinya, perusahaan tersebut menghindar tanggung jawab sosial sementara masyarakat menanggung beban finansial dan kesehatan  jangka panjang. Ini memperburuk ketimpangan, di mana keuntungan dinikmati segelintir elit sementara kerugian tersebar luas di kalangan buruh dan komunitas yang terpinggirkan, ungkapnya

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :