Efek Domino Hilirisasi Menyebabkan Bencana Ekologis di Morowali Utara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Tanggal 06 September 2024 pukul 02 : 37, terjadi banjir di tiga titik . Desa Towara, Bungintimbe, dan Molino Kecamatan Petasia Timur, Kab Morowali Utara. Banjir terjadi akibat intensitas hujan meningkat selama 4 – 5 jam tanpa henti. Dampaknya jalan poros  trans sulawesi yang menghubungkan Kabupaten Morowali Utara, Morowali, Poso, dan Propinsi Kendari di dusun poranda Bugintimbe tak bisa dilalui oleh kenderaan roda dua dan empat. Macet mencapai hingga 3 Km. Ruas dan badan jalan tertutup sedimen tanah berwarna coklat yang di bawah oleh air setinggi ½ – 1 meter.

Rumah warga di tiga desa terendam air dan lumpur berwana coklat se tinggi ½ meter, warga tidak bisa beraktivitas saat kejadian hingga paska kejadian. Beberapa orang warga mengamankan diri ke tempat tinggi untuk menghindari banjir susulan. Selain itu air bersih yang di konsumsi warga juga berubah menjadi kecoklatan, tidak bisa di konsumsi sama sekali.

Berdasarakan analisis spasial Walhi Sulteng, di Kabupaten Morowali Utara terdapat 38 Izin IUP Operasi Produksi dengan luasan 69.156 ha 2020 – 2022. Terletak hampir di sepanjang lansekap pengunungan Morowali Utara.

PT BUKIT MAKMUR ISTINDO NIKELTAMA (Bumanik), merupakan salah satu perusahaan yang memiliki konsesi terbesar seluas 4,778.00 ha terletak di Kecamatan Petasia Timur. Diduga material tanah berwarna coklat yang di bawa oleh banjir pada Tanggal 6 September 2024, akibat aktivitas pertambangan tersebut.

Menurut warga, “Banjir tidak pernah separah ini, dulu ada banjir tapi hanya di sungai saja tidak pernah sampai meluap ke pemukiman dan jalan serta menganggu air bersih. Sejak tambang mulai beroperasi menggusur tanah dan membongkar hutan, banjir bercampur lumpur mulai terjadi”.  Selama beberapa tahun terakhir banjir seperti ini, dan telah menjadi langganan di setiap musim hujan.

Wandi pengkampanye Walhi Sulteng, menilai banjir yang terjadi di Desa Towara, Bungintimbe, dan Molino, akibat tidak adanya lagi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pohon mulai hilang dan bukaan tambang yang luas mengakibatkan serapan air hujan kedalam tanah berkurang, sehingga air dengan volume yang tinggi, cepat membawa material tanah mencari dataran rendah serta jalur sungai.

Meningkatnya ekspansi dan aktivitas tambang nikel di Morowali Utara, merupakan efek domino dari program Hilirisasi nikel yang di canangkan oleh pemerintah. Hampir sebagian besar tambang – tambang yang beroperasi tersebut merupakan pemasok ore nikel ke PT Gunbestur Nikel Industri (GNI). Perusahaan yang beroperasi dan mengendalikan kawasan Stardust Estate Investment (SEI), terletak di Kecamatan Petasia dan Petasia Timur.

Jika aktivitas pertambangan tersebut tidak dapat di kendalikan oleh pemerintah, maka bencana ekologis kedepanya meningkat dan paparan daya rusaknya makin luas. Masyarakat menjadi korban akibat dampak. Uang kompensasi dan ganti rugi ibaratnya hanya seperti obat bius untuk menenangkan kegelisahaan dan kemarahan warga.

Stevi Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menemukan fakta lapangan, tambang – tambang tersebut menyebabkan terjadinya krisis air bersih. Air yang mengalir ke rumah warga debitnya berkurang bahkan ada yang berwarna kecoklatan, warga harus menyambung pipa ke sumur bor milik tetangga untuk mendapatkan air bersih. Biaya yang di keluarkan  sebesar Rp 15,000 – Rp 20.000 per bulan untuk patungan beli pulsa listrik. Ketika air sama sekali tidak mengalir, maka harus membeli air dengan harga sebesar Rp 80.000 per tandon. Biasanya air pertandon dengan kapasitas 1000 liter hanya digunakan dalam waktu dua hari untuk Mandi, masak, konsumsi, dan mencuci.

Dampak turunan dari krisis air ialah perempuan mengalami kerentanan akan kebutuhan reproduksinya. Sebab perempuan sangat memiliki hubungan erat dengan air bersih. Selain itu juga efek lainya ketimpangan gender dalam rumah tangga terjadi akibat beban ganda dan rentan terhadap

kekerasan seksual. Perempuan harus memikirkan bagaimana mendapatkan sumber air bersih untuk di gunakan sehari – hari, sebab air bersih di kategorikan sebagai kebutuhan domestik yang harus di urus oleh perempuan.

Atas situasi tersebut Walhi Sulteng dan Yayasan Tanah Merdeka, mendesak kepada pemerintah KLHK dan Kemantrian ESDM segera melakukan moratorium dan evaluasi seluruh aktivitas pertambangan yang  beroperasi di wilayah pegunungan Morowali Utara, yang di duga faktor utama menyebabkan terjadinya banjir dan krisis air bersih.  UU No 32 Tahun 2009 sangat jelas mengamanatkan tentang pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan.

Jika di temukan perusahaan melakukan pelanggaran lingkungan, maka harus di berikan sangsi serius dan memberikan efek jerah untuk memperbaiki tata kelolanya. Berdasarkan tiga poit dalam UU Nomor 3 Tahun 2021. Pidana, denda dan penjara, pencabutan izin dan sansi administrasi.

UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, juga sangat jelas di sampaikan tentang 5 aspek yang perlu dilaksanakan oleh pelaku penambang dalam standar Good mining Practice (GMP) yaitu:

  1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan (K3 Pertambangan)
  2. Keselamatan Operasi Pertambangan (KO Pertambangan)
  3. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Pertambangan, Termasuk Reklamasi dan Pasca Tambang
  4. Upaya Konservasi Sumberdaya Mineral dan Batubara
  5. Pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan bai cair, padat, gas sampai memenuhi baku mutu lingkungan.

Narahubung

082215534058   : Wandi Kampanye WALHI Sulteng 

082239319578   : Stevy Yayasan Tanah Merdeka 

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :