Senin, 22 Desember 2025, Kondisi masyarakat ditapak pasca kunjungan Gubernur Sulawesi Tengah di lembah Pekurehua bukannya mendingin, melainkan kian memanas. Hanya berselang sehari setelah kunjungan resmi tersebut, Badan Bank Tanah bersama aparat kepolisian dilaporkan kembali mendatangi warga, memicu kekhawatiran akan eskalasi intimidasi di tengah konflik agraria yang belum usai.
Sebelumnya pada Minggu, 21 Desember 2025, kunjungan lapangan oleh Gubernur Sulawesi Tengah dilakukan di lima desa yang berkonflik dengan Badan Bank Tanah, yakni Desa Alitupu, Kalimago, Winowanga, Maholo dan desa Watutau yang menjadi titik akhir kunjungan sekaligus dialog bersama. Dalam dialog yang berlangsung, setiap perwakilan masing-masing desa menyampaikan aspirasinya langsung didepan Gubernur Sulawesi Tengah.
Temu Rakyat dengan agenda Dialog bersama rakyat tersebut Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid yang ditemani oleh Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) secara tegas siap mengawal dan berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria di lima desa yang beririsan langsung dengan Badan Bank Tanah (BBT). Dalam kesempatan yang sama juga, Anwar Hafid juga menyerukan dalam proses penyelesaian konflik agraria ini, masyarakat diharapkan untuk mengumpulkan data subjek dan objeknya, objeknya, jenis perkebunan, sejarah penguasaan tanah, sejarah situs Pekurehua,. Dalam kesempatan yang sama
Dalam dialog yang berlangsung, Gubernur Sulawesi Tengah juga akan segera melakukan Koordinasi dengan Kapolda Sulawesi Tengah agar Christian Toibo segera dibebaskan, serta Komitmen Gubernur Sulawesi Tengah ingin menyampaikan ke Presiden Republik Indonesia terkait dengan masalah BBT, serta diharpakan untuk masyarakat tetap bersabar dan mempercayakan semuanya kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Anwar Hafid juga menyerukan kepada BBT agar menghentikan segala bentuk intimidasi maupun kriminalisasinya dalam proses penyelesaian kasus ini.
Belum genap 24 jam setelah Gubernur Sulawesi Tengah meninggalkan lokasi, ketegangan kembali menyelimuti warga. Alih-alih mendengarkan seruan Gubernur, Badan Bank Tanah yang di dampingi oleh Pihak Kepolisian justru kembali mendatangi salah satu warga yang ada di desa Maholo, Kecamatan Lore Timur. Kehadiran aparat kepolisian yang mendampingi Badan Bank Tanah pada Minggu (23/12) justru melahirkan kekhawatiran ditengah-tengah masyarakat yang saat ini tengah mempertahankan tanahnya.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Wiwin Matindas menyampaikan “Pendekatan dengan menggunakan aparat kepolisian adalah upaya yang coba dilakukan oleh Badan Bank Tanah, yang pada dasarnya adalah upaya intimidasi. WALHI menegaskan bahwa penguasaan dan klaim sepihak Badan Bank Tanah atas lahan-lahan milik warga di 5 desa di Tampo Lore merupakan bentuk penyerobotan wilayah hidup rakyat. Praktik ini melanggar prinsip keadilan agraria, mengabaikan sejarah penguasaan dan pengelolaan lahan oleh masyarakat, serta bertentangan dengan mandat konstitusi yang menempatkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bank Tanah tidak boleh dijadikan instrumen baru perampasan tanah atas nama investasi dan proyek strategis. Negara seharusnya hadir melindungi petani dan masyarakat adat, bukan justru memfasilitasi penghilangan hak-hak mereka melalui pendekatan administratif dan kekuasaan.”
WALHI Sulawesi Tengah berharap besar upaya penyelesaian konflik agraria ini bisa terselesaiakan dengan baik tanpa ada intimidasi atau kriminalisasi terhadap rakyat.