JAKARTA – Ketegangan-ketegangan politik yang ditebar ke rakyat menjelang Pemilu, diciptakan untuk memberikan ruang kejahatan pada Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Sejak tahun 90-an, biaya politik telah dibebankan ke rakyat dan alam serta lingkungan hidup melalui transaksi-transaksi perizinan di sektor kehutanan, perkebunan dan juga pertambangan.
Hal ini dikemukakan Kepala Departemen Advokasi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi, melalui rilisnya yang diterima media ini, dua hari lalu.
Dia mengatakan, dari sekian banyak scenario yang digunakan para elit politik dan pengusaha, salah satunya adalah dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Hardaya Inti Plantations (HIP), ungkap dia, adalah salah satu contoh terkini, di mana praktik penyelesaian persoalan ketimpangan lahan hanya menjadi simbol belaka di Kabupaten Buol.
Fakta yang terjadi, lanjut dia, menunjukkan keberhasilan pelaku perusak hutan dalam mengambil keuntungan jelang Pemilu 2019.
Sementara Direktur Walhi Sulteng, Aries Bira, menegaskan, praktik ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah atas kebijakan yang telah diterbitkan.
Di mana, kata dia, dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau lebih populer dengan Moratorium Sawit.
“Inpres ini secara tegas ditujukan kepada delapan kementerian/lembaga, termask Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah untuk menunda dan melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak terkecuali di Kabupaten Buol, ” katanya.
Dia menambahkan, Bupati Buol saat ini membuat program sangat populis dengan TAURAT (Tanah Untuk Rakyat). Program ini untuk memastikan distribusi tanah untuk rakyat benar-benar terlaksana dengan baik dan menyasar tanah negara terlantar yang masih berpotensi untuk dikelola menjadi lahan pertanian, termasuk lahan perusahaan yang tidak kelola, hingga pada kawasan hutan yang bisa dikonversi.
Namun program ini mendapatkan tantangan dari sisi implementasi karena harus berhadapan dengan kerasnya pertarungan modal besar yang sedang bermain di Kabupaten Buol, salah satunya industri perkebunan sawit.
Dari hasil bacaan citra satelit yang dilakukan Manager Data Base dan GIS, Walhi, Achmad Rozani menunjukkan bahwa PT. HIP telah mendapatkan pelepasan kawasan hutan sekitar 19.000 hektar pada tahun 1998.
Kemudian di masa Pemilu 2014 kembali mendapatkan seluas kurang lebih 14.000 hektar dan menjelang Pemilu 2019, tepatnya pada tanggal 23 November 2018 (kurang lebih 2 bulan pasca terbitnya Inpres Moratorium Sawit) dengan luas 9.964 hektar Nomor: SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT. HIP di Kabupaten Buol.
Dugaan lain dari hasil bacaan peta citra satelit itu, bahwa pihak perusahaan sudah terlebih dahulu melakukan pembukaan lahan dan melakukan penanaman kelapa sawit, sebelum mendapatkan SK Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal tersebut, kata dia, bisa dibuktikan dengan fakta tanaman kelapa sawit yang mungkin usia tanamnya sudah berumur 4 (empat) tahun.
“Olah data spasial perizinan PT. CCM/PT.HIP yang ada menunjukkan carut marut dalam penentuan dalam pemanfaatan ruang tersebut dan penampakan visual citra satelit yang di himpun dan di olah menunjukkan fakta sejak tahun 1994 sampai dengan 2018, PT. CCM/PT. HIP telah melakukan pembukaan lahan sebelum memiliki dasar legal,” ujarnya.
Pada sisi yang lain, kata dia, seluas 5189,66 hektar Izin HGU PT. HIP tumpang tindih dengan Kawasan Hutan. (IKRAM)
Sumber: alkhairaat.id