Konflik korporasi perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat masih terus berlanjut. Warisan dosa perizinan dan penerbitan izin-izin baru sektor perkebunan kelapa sawit mengakibatkan petani menjadi korban investasi rakus lahan ini. Pilihan pemerintah menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas andalan Indonesia yang pada tahun 2017 yang menyumbang sebesar Rp.239 Triliun dalam devisa negara, tidak sebanding dengan kerusakan yang diakibatkannya, seperti hilanggnya tutupan, rusaknya ekosistem gambut, air dan lainnya, termasuk praktik perampasan lahan dan pencemaran lingkungan. Salah satu potret buruk pekebunan kelapa sawit Indonesia dapat dilihat dari peristiwa yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Di Sulawesi Tengah tercatat ±700 ribu hektar perkebunan kelapa sawit dengan 111 izin usaha perkebunan yang sebagian besarnya belum mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) . Astra Agro Lestari (AAL) tercatat mempunyai konsesi luas izin paling besar, yaitu seluas 98.177 hektar yang tersebar di beberapa kabupaten Sulawesi Tengah, yakni Morowali Utara, Morowali, Poso dan Donggala.
Monopoli ruang yang begitu besar ini mengakibatkan ASTRA gagal melakukan aktivitas bisnis yang ramah lingkungan dan bebas dari konflik agraria. Beberapa persoalan tersebut diantaranya perampasan tanah rakyat, pencemaran lingkungan, kriminalisasi dan lainnya. Hal inilah dapat menggambarkan perilaku buruk Astra dalam aktivitas perkebunannya di Sulawesi Tengah.
Salah satu perilaku buruk astra yang berkonspirasi dengan oknum aparat penegak hukum dalam aktivitas bisnis perkebunan kelapa sawitnya dapat dilihat dari praktik kriminaslisi terhadap Hemsi, seorang petani dari kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala pada penghujung 2018. Hemsi, ditangkap oleh Kepolisian Sektor Pasangkayu atas tuduhan mencuri tandan buah segar kelapa sawit di lahannya sendiri. Berdasarkan data WALHI Sulawesi Tengah diketahui bahwa Hemsi (yang saat ini sedang mendekam dalam Penjara) telah menguasai tansah tersebut (dengan dokumen-dokumen sah yang dimilikinya) jauh sebelum perusahaan beroperasi. Apa yang dilakukan ASTRA terhadap Hemsi merupakan potret buruk aktivitas perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah.
Persoalan kriminalisasi yang bersumber dari konflik agraria, mengantarkan kita pada pertanyaan mendasar, apakah negara serius dalam penyelesaian persoalan ini atau sekedar menjadi ilusi pada tiap momentum politik. Guna melihat hal tersebut, maka Debat Capres Kedua pada 17 Februari 2019 yang dilagsungkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagaimana perhatian Para Capres terhadap isu Agraria dan Lingkungan Hidup.
Bagi kami, debat ini akan menjadi ilusi bila tidak menyentuh akar persoalan pokok petani. Terkait dengan hal tersebut, maka kami dari “Gerakan Perjuangan Agraria Sulawesi Tengah” yang tergabung dari beberapa organisasi, menutut Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia agar :
Menjadikan isu penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam menjadi topik penting dalam Debat Kedua Capres;
Memastikan sejauh mana komitmen Pasangan Capres Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto guna melaksanakan reforma agraria di Indonesia, termasuk di Kecamatan Rio Pakava, Sulawesi Tengah;
Memastikan komitmen Jokowi dan Prabowo untuk memberikan jaminan perlindungan bagi Pejuang Lingkungan Hidup, Pejuang Agraria dan Pembela HAM lainnya di Indonesia, termasuk peristiwa kriminaslisasi yang menjerat Hemsi, petani Rio Pakava, Sulawesi Tengah;
Memastikan sejauh mana komitmen Kedua Pasangan Capres untuk melakukan peninjauan ulang terhadap izin-izin industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan berkonflik dengan warga, termasuk permasalahan yang melibatkan korporasi kelapa sawit PT. Astra Agro Lestari.
Narahubung:
Stevandi (082188160099)
Saulin (081380399658)