Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya, tetapi pendamping yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat akan berkata; “Kami sendirilah yang mengerjakannya” (Lao Tse tahun 500 SM)
Penggalan kalimat di atas adalah pernyataan Lao Tse yang sampai saat ini masih menjadi salah satu referensi utama bagi pegiat gerakan sosial dalam melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan pendampingan masyarakat. Di tengah semakin mengganas dan meluasnya pandemi covid-19, beberapa bulan terakhir WALHI Sulawesi Tengah sedang giat-giatnya melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat korban konflik agraria di beberapa Desa yang berada padawilayah lingkar perkebunan sawit di Kecamatan Riopakava Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
Sejauh mata memandang hanya ada kebun sawit. Demikian yang terlintas dibenak saat kita melakukan perjalanan memasuki Kecamatan Riopakava dari arah Kota Donggala. Sejak tahun 90-an daratan Lalundu (Kecamatan Riopakava) sudah dikepung penetrasi perusahaan perkebunan sawit berskala besar. PT. Mamuang, PT. Lestari Tani Teladan (LTT). Keduanya merupakan anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari. Seperti lazimnya kehadiran korporasi perkebunan sawit selalu saja menimbulkan masalah yang kompleks. Tak pelak lagi kehadiran kedua perusahaan tersebut membuat ketimpangan penguasaan lahan di Kecamatan Riopakava.
Menemukenali Masalah PSDA Desa Towiora
Berbekal informasi lapangan dari kawan-kawan Departemen Advokasi beberapa minggu sebelumnya, tanggal 20 Oktober 2020 Community Organicer (CO) WALHI Sulawesi Tengah kawan Yuyun datang ke Desa Towiora Kecamatan Riopakava Kabupaten Donggala untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian. Sejak tahun 2019 Yuyun melakukan pendampingan perempuan korban bencana 28 September 2018 di Desa Rogo Kecamatan Dolo Selatan. Baginya melakukan pengorganisasian di wilayah lingkar perkebunan sawit adalah tantangan dan pengalaman baru. Tapi isu perkebunan sawit bukanlah isu yang baru. Sejak ia menduduki bangku kuliah ia sering terlibat dalam aksi solidaritas untuk beberapa kasus penangkapan dan kriminalisasi petani di Kecamatan Riopakava.
Datang ke Desa Towiora ia mengunjungi rumah-rumah warga Desa Towiora untuk berkenalan dan melakukan pendekatan emosional kepada warga Desa Towiora. Disamping itu upaya tersebut dilakukan guna mengenal dan menggali lebih dalam persoalan pengelolaan sumber daya alam yang dihadapi masyarakat khususnya kelompok perempuan petani di desa tersebut.
Sebelum kedatangan anak perusahaan Astra Group datang ke Daratan Lalundu, tahun 80-an wilayah Desa Towiora dihuni olehsuku asli Kaili Uma. Namun seiring dengan kedatangan PT. LTT di Desa Towiora orang Kaili Uma perlahan tersingkir dari tanah leluhurnya dan perlahan-lahan mereka kehilangan dan tersingkir dari lahannya. Masyarakat Desa Towiora saat ini tidak lagi memiliki banyak lahan kosong untuk ditanami tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga karena mayoritas lahan di desa tersebut sudah ditanami sawit melalui sebuah program kemitraan antara PT. LTT dengan warga yang cukup menggiurkan kala itu. Tapi untuk pengadaan bibit sawit, pupuk untuk pemeliharaan masyarakat pihak perusahaan menyediakan dalam skema hutang. Sehingga hasil pemanenan buah sawit harus dipasarkan ke PT. LTT, harganya sama sekali tidak menguntungkan petani karena ditentukan seenak hati oleh pihak perusahaan.
Pada musim panen, laki-laki dan perempuan bekerja bersama untuk melakukan pemanenan buah sawit. Laki-laki melakukan pemanenan, sementara perempuan membantu suami mengumpulkan berondolan yang jatuh ke tanah.
Adapun beberapa orang warga yang mempunyai lahan kosong, biasanya mereka tanami dengan tanaman jagung. Namun bagi sebagian besar masyarakat Desa Towiora tidak memiliki lahan sehingga warga yang tidak memiliki lahan, mereka biasanya mengontrak lahan warga yang lainnya untuk diolah. Tinauka merupakan daerah yang tersisa untuk tanaman pangan dan palawija seperti jagung dan sayur-mayur. Daerah ini terletak di bagian atas sebelah Timur Desa Towiora. Akan tetapi akhir-akhir ini santer terdengar kabar jika wilayah tersebut akan dijadikan wilayah penempatan pemukiman dan lahan usaha untuk program transmigrasi pemerintah. Sehingga penempatan transmigrasi ini ditengarai oleh warga akan masalah baru yakni konflik lahan.
Di tengah semakin menyempitnya akses terhadap tanah dan sumber daya alam, tidak banyak pilihan lain bagi warga Desa Towiora untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perampasan tanah dan alih fungsi lahan secara besar-besaran oleh PT. LTT telah menciptakan lautan pengangguran. Warga yang dahulu mayoritas mengolah tanahnya secara mandiri dengan tanaman pangan, tiba-tiba diperhadapkan dengan komoditas dan industri perkebunan sawit yang sangat memiliki ketergantungan dengan perusahaan. Harga komoditas sawit yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan tidak berbanding lurus dengan biaya produksi sawit yang harus ditanggung oleh petani dengan skema hutang. Maka salah satu pilihan alternatif adalah dengan bekerja di perusahaan. Tapi ironisnya teramat sulit bagi warga Desa Towiora untuk diterima bekerja di perusahaan.
“Entah apa masalahnya sehingga kami tidak bisa bekerja di perusahaan, sehingga kami cuma mengandalkan tenaga untuk bekerja jadi buruh di kebun sawit milik warga yang lain” Ungkap Popy salah seorang perempuan petani Desa Towiora.
Sementara itu limbah buangan pabrik sawit P. LTT telah mencemari udara dan menimbulkan bau tidak sedap menjadi problem tersendiri yang sangat meresahkan masyarakat. Perusahaan hanya membuang limbah pabrik pengolahan sawit secara sembarangan tanpa ada perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang baik. Tidak hanya mencemari udara, limbah tersebut juga telah mencemari sumber air Desa Towiora. Sehingga mempersulit akses air bersih bagi warga. Bahkan karena kesulitan mendapatkan air bersih, air yang berminyak dan berbau tersebut dengan terpaksa dipergunakan setiap harinya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga pernah mencoba menggali tanah untuk mencari sumber air bersih yang lain. Namun namun kondisi air yang ditemukan tetap sama. Hal tersebut semakin memperkuat indikasi terjadinya pencemaran oleh limbah pabrik sawit milik perusahaan.
Terlebih lagi bila musim kemarau tiba sumur-sumur air milik warga menjadi kering. Perempuan Towiora akan pergi menuju ke Sungai Lariang untuk melakukan aktivitas mencuci, mandi dan mengambil air. Padahal dulu sebelum kehadiran perusahaan Towiora adalah kampung yang kaya akan sumber mata air. Demikian pula dengan air Sungai Lariang yang sangat bersih dan jernih. Kesaksian salah seorang perempuan Ina Lele (70) yang tinggal di Desa Towiora sebelum perusahaan datang ke desa tersebut menunjukkan bahwa Sungai Lariang kini sudah tercemar akibat kehadiran kebun dan pabrik sawit milik PT. LTT.
“Dulu air sungai lariang begitu jernih tidak cokelat seperti skrang hanya musim tertentu saja seperti musim hujan baru air berubah menjadi coklat. Namun beberapa tahun belakangan sering banjir jadi air nya sudah tidak bagus, sehingga sekarang kalau kita mau ambil air disana harus membuat kubangan-kubangan air dengan menyaring nya menggunakan pasir agar airnya bisa jernih” Tutur Ina Lele.
Sungai Lariang sangatlah bermanfaat bagi orang Towiora. Sebab Sungai Lariang bisa mejadi tempat pelarian masyarakat pada musim kemarau ketika air sumur kering kerontang. Selain Sungai Lariang, di desa tersebut terdapat sumber air yang dibuat alirannya melalui program Pamsimas. Namun saluran air tersebut tidak dirawat dengan baik oleh pengurus desa. Padahal kala itu masyarakat Desa Towiora rajin membayar iuran setiap bulan. Namun tidak terlihat keseriusan dari pengurus untuk memperhatikan dan memelihara saluran air dan sumber ini.
Ditemani salah seorang warga Desa Towiora Ibu Asriani, Yuyun juga berkunjung ke rumah Kepala Dusun I Acan (56) . Bersama Acan dan istrinya Neni (58), Yuyun banyak bertukar cerita. Menurut Kepala Dusun, salah satu permasalahan pokok di Desa Towiora adalah banjir yang diakibatkan meluapnya Sungai Lariang. Banjir selalu menjadi momok menakutkan bila musim penghujan datang. Tanah-tanah di wilayah pinggiran Sungai Lariang perlahan terkikis dan banjir menggenangi pemukiman warga.
Menurutnya Acan Pemerintah Desa sedang mengupayakan pembangunan tanggul di pinggiran Sungai Lariang. Sebab kebun-kebun sawit milik warga juga terancam akan hilang akibat dari pengikisan tanah yang terjadi setiap tahunnya. Acan membenarkan bahwa saat ini air bersih sangat sulit di dapatkan di Desa Towiora.
“Sudah bertahun-tahun kami kesulitan mendapatkan air bersih. Pemerintah Desa juga sudah beberapa kali mengajukan proposal kepada pihak perusahaan agar sekiranya perusahaan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan akses air bersih. Namun hal itu tidak pernah mendapatkan respon yang baik daro pihak perusahaan” keluh Acan.
Dari kunjungan ker rumah-rumah warga dapat di tarik kesimpulan bahwa kehadiran perusahaan perkebunan sawit dan industri sawit PT. LTT telah mengakibatkan ketidakadilan penguasaan tanah, kerusakan lingkungan (udara, sumber air dan tanah). Selain itu masalah lain dengan merebaknya pengangguran dan diskriminasi akses terhadap pekerjaan. Kesemuanya itu berkelit-kelindan menjadi mata rantai pemiskinan masyarakat Desa Towiora.
Satu tanggapan untuk “Ketimpangan Agraria, Kerusakan Ekologis dan Lautan Pengangguran, Mata Rantai Pemiskinan Masyarakat Desa Towiora”
Saya sala satu masyarakat towiora sangat senang dengan adanya WALHI yg datang mengunjungi desa kami..kami berharap kelu kesa kami melalu media ini dapat di sampaikan kepada pihak-pihak yang terkait agar bisa merubah keadaan desa kami yang di himpit sungai larian dan jg perusahaan PT.lestari tani teladan ..yang dimna kami punya hak untuk di pedulikan dan di sejatrakan sebagaimana mestinya..