Walhi Sulteng : Butuh Komitmen Politik Kepala Daerah untuk Perbaikan Pengelolaan SDA dan Perlindungan Lingkungan Hidup

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Sejak berpuluh tahun lalu hingga saat ini eksploitasi sumber daya alam masih menjadi orientasi utama pemerintah dalam pembangunan. Sehingga dewasa ini masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) di Sulawesi Tengah semakin kompleks. Liberalisasi kebijakan PSDA di tingkat nasional yang hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi berbasis investasi sektor sumber daya alam telah berakibat buruk terhadap keberlanjutan pengelolaan lingkungan hidup sebagai penopang sektor pertanian dan perikanan yang merupakan sumber penghidupan rakyat. Perampasan tanah dan alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan rakyat sebagai implikasi dari penetrasi korporasi industri ekstaktif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit berskala besar, kerusakan lingkungan hidup, kerusakan hutan dan bencana ekologis menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan lagi.

Demikian pula bagi komunitas nelayan di wilayah pesisir. Aktifitas pertambangan dan perkebunan sawit di wilayah hulu telah mencemari wilayah tangkap nelayan dan areal budi daya rumput laut di wilayah pesisir. Disamping itu juga armada pelabuhan distribusi hasil tambang dan perkebunan sawit telah mengapling wilayah pesisir dan semakin menyingkirkan nelayan dari ruang produksinya. Ditambah lagi dengan klaim pribadi atas wilayah pesisir menjadi masalah tersendiri

Komunitas nelayan perairan darat juga mengalami hal yang sama. Rencana perluasan investasi sektor energi listrik di wilayah Danau Poso dan hulu sungai Lariang di Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi menjadi ancaman serius bagi petani dan nelayan di dua wilayah tersebut. Sementara itu sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sulawesi Tengah juga mengalami degradasi lingkungan yang cukup parah.

Di tengah upaya kaum tani dan nelayan mempertahankan ruang-ruang produksinya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) justru mendorong kebijakan yang semakin liberal dan berpotensi menyingkirkan kaum tani dan nelayan dari ruang produksinya. Betapa tidak, meskipun mendapatkan penolakan dari organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat DPR-RI tetap bersikukuh melanjutkan pembahasan dan akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi Undang-Undang. Sebelumnya, di tengah krisis pandemi Covid-19 dan ancaman krisis pangan DPR-RI juga telah mensahkan UU Minerba. Kedua kebijakan tersebut telah memberi karpet merah bagi investasi untuk memperkuat dominasi penguasaan ruang produksi yang akan berimplikasi terhadap semakin tingginya laju kerusakan lingkungan.

Kebijakan tersebut semakin menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap investasi dan cenderung mengabaikan keberlanjutan pengelolaan lingkungan hidup dan menyingkirkan ruang-ruang produksi pangan rakyat. Arah kebijakan yang semakin semakin memperbesar tantangan bagi kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan dalam mempertahankan ruang-ruang produksinya.

Petani dan nelayan yang tersingkir dari ruang produksinya kemudian bertransformasi menjadi buruh di perusahaan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Mayoritas diantara mereka bekerja dengan kondisi lingkungan kerja yang buruk dan minim perlindungan dari aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Akibatnya seringkali terjadi kecelakaan kerja yang tidak tertangani dengan baik.

Sementara itu masyarakat di sekitar kawasan hutan dan kawasan konservasi juga mengalami marginalisasi dan pemiskinan akibat pengelolaan kawasan yang cenderung ecofasis dan mengabaikan hak tenurial dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan hutan dan kawasan konservasi. Hal tersebut acapkali menimbulkan konflik tenurial antara masyarakat lokal, masyarakat adat dengan pengelolaan kawasan hutan dan konservasi yang berujung pada kriminalisasi petani dan masyarakat adat. Di lain sisi upaya pemerintah untuk mengatasi konflik tenurial di kawasan hutan melalui program Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Sulawesi Tengah belum dapat dimaksimalkan sebagai solusi atas konflik tenurial yang terjadi.

Berbagai problem tersebut berkelit-kelindan mempertontonkan buruk rupa pengelolaan sumber daya alam Sulawesi Tengah. Olehnya WALHI Sulawesi Tengah hendak menyajikan peristiwa-peristiwa dan beberapa pembelajaran penting yang perlu menjadi perhatian para pihak, utamanya pihak pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mendorong kesadaran publik akan pentingnya menjaga pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup sebagai landasan pokok dalam mendorong pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan di Sulawesi Tengah.

Korporasi Mendominasi Penguasaan Ruang Produksi

Paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan investasi berimplikasi terhadap penyempitan wilayah kelola rakyat, sebaliknya penguasaan ruang produksi oleh korporasi semakin meluas. Hasil analisis spasial yang dilakukan WALHI Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa dari 6.552.672 hektar daratan Provinsi Sulawesi Tengah, penguasaan ruang didominasi oleh korporasi pertambangan, perkebunan kelapa sawit. Peruntukan ruang produksi berbasis investasi ini terlihat jelas dalam peta pola ruang Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulteng yang telah disusun oleh pemerintah provinsi yang akan ditetapkan menjadi Perda.

Hasil analisis spasial yang dilakukan WALHI Sulawesi Tengah menemukan fakta bahwa :

  • Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) yang tersebar di hampir seluruh Kabupaten di Sulawesi Tengah. Hingga tahun 2019 pemerintah telah menerbitkan 463 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas 1.889.664,54 hektar (39,07%) dari total luas wilayah daratan Sulawesi Tengah. Bahkan pemerintah merencanakan akan menetapkan beberapa wilayah di Kabupaten Morowali, Morowali Utara dan Kabupaten Banggai sebagai Kawasan Industri Prioritas sektor pertambangan.
  • Penguasaan lahan sektor perkebunan didominasi oleh perusahaan perkebunan sawit berskala besar. Dimana total luasan izin perkebunan sawit di Sulawesi Tengah mencapai 722.637,99 hektar atau (11,14%) dari 53 korporasi perkebunan sawit yang beroperasi di Sulawesi Tengah.
  • Izin pertambangan dan perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi. Dari 4.067.377 ha kawasan hutan dan konservasi di Sulawesi Tengah terdapat 1.249.347 hektar konsesi pertambangan berada di dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi. Demikian pula halnya dengan perkebunan kelapa sawit terdapat 21.000 hektar berada di dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi.
  • Wilayah izin usaha pertambangan dan perkebunan sawit yang diterbitkan oleh pemerintah juga tumpang tindih dengan kawasan peruntukan permukiman, pertanian dan perkebunan masyarakat. Total luas tumpang tindih izin pertambangan dan izin perkebunan sawit dengan areal peruntukan lainnya kurang lebih 340.991 hektar.
  • Total luas areal izin pertambangan dan perkebunan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, kawasan konservasi serta kawasan peruntukan lainnya diperkirakan mencapai 1.632.073 hektar.

Konflik Agraria dan Perampasan Tanah Rakyat

Beberapa tahun sebelumnya konflik agraria yang mengorbankan tanah rakyat telah berlangsung selama bertahun-tahun dan hampir tak terhitung jumlahnya. Kasus konflik agraria antara korporasi dengan masyarakat masih mewarnai perjalanan sepanjang tahun 2020. Konflik agraria diantaranya :

  1. Konflik lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) dengan masyarakat Desa Peonea Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara. Dimana pada bulan Februari masyarakat melakukan aksi demonstrasi dan mendatangi kantor Kanwil BPN Sulawesi Tengah, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah untuk melaporkan dugaan penyerobotan lahan warga dan kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 900 hektar oleh PT. SPN.
  • Upaya banding PT. SPN di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar atas putusan PTUN Palu yang berhasil memenangkan gugatan warga Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara. Dimana dalam putusan PTUN Palu tersebut menyatakan bahwa PT. SPN telah melakukan pelanggaran administratif dalam penerbitan izin seluas 1.895 hektar.
  • Somasi PT. Mamuang terhadap petani Kecamatan Rio Pakava Frans Hemsi yang memberi peringatan kepada Hemsi agar ia meninggalkan tanah seluas 50 hektar yang diklaim oleh PT. Mamuang. Padahal lahan tersebut telah mendapatkan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2019 sebagai bukti alas hak kepemilikan atas tanah tersebut.
  • Kasus kriminalisasi petani Ibu Samria (51) dan suaminya Pak Natu (60) yang diperkarakan oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) atas tuduhan pengrusakan basecamp PT. KLS di Kecamatan Moilong Kabupaten Banggai.
  • Dugaan penyerobotan tanah warga Desa Siuna Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai oleh perusahaan tambang nikel PT. Prima Dharma Karsa.
  • Konflik lahan warga dengan PT. Agro Nusa Abadi (ANA) yang melakukan penyerobotan tanah warga beberapa Kecamatan Petasia Timur seluas kurang lebih 700 hektar. Sedangkan PT. ANA beroperasi hanya menggunakan ijin lokasi dan tak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sehingga tahun 2019 lalu Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Sulteng mengeluarkan sebuah laporan investigasi dan menyatakan anak perusahaan dari grup Astra Agro Lestari (AAL) ini belum memiliki HGU. Dalam laporan tersebut ORI Sulteng menyebut bahwa telah terjadi maladministrasi terhadap proses perizinan perusahaan tersebut.
  • Kasus penolakan masyarakat Kecamatan Kulawi Selatan dan Kecamatan Pipikoro terhadap rencana pembangunan PLTA Salo Pebatua yang akan dibangun di wilayah tersebut. Penolakan masyarakat ditandai dengan adanya spanduk kalimat penolakan warga yang dibubuhi tanda tangan. Spanduk tersebut dipajang di beberapa titik di Kecamatan Pipikoro dan Kulawi Selatan. Dalam pernyataannya yang dirilis berbagai media lokal Ketua Serikat Petani Wahi (SPW), Elsi E. Lunda menyatakan, mega proyek ini akan berdampak penyingkiran warga penduduk di empat desa, di dua kecamatan yang ada di Kabupaten Sigi.
  • Kasus penolakan warga atas rencana PT. Poso Energi yang akan menambah cadangan pasokan energi listrik dengan melakukan pengerukan danau Poso di Kecamatan Pamona. Dimana sebelumnya PLTA Poso 2 dan PLTA Poso 1 telah dioperasikan oleh PT Poso Energy. Sementara PLTA Poso 3 juga akan dibangun dan tahun ini PT Poso energy menargetkan akan memiliki PLTA Poso dengan kapasitas tidak kurang dari 500 MW.
  • Kasus penolakan ribuan petani Kecamatan Tinombo Selatan terhadap aktifitas pertambangan PT. Trio Kencana yang menuntut Pemerintah Provinsi untuk mencabut izin usaha pertambangan perusahaan tersebut.

Selain kasus konflik agraria dengan korporasi, di Kota Palu juga terjadi sengketa lahan yang berkaitan erat dengan sejumlah proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa dan tsunami 28 September 2018. Kasus konflik lahan tersebut diantaranya :

  1. Kasus konflik lahan warga Kelurahan Talise Valangguni dengan Pemerintah Kota Palu. Dimana lahan ini merupakan eks HGB yang akan dijadikan lahan hunian tetap oleh Pemerintah Kota Palu.
  • Kasus sengketa lahan warga di wilayah sempadan pantai Kota Palu dengan pemerintah. Dimana di lokasi tersebut sementara berjalan pembangunan tanggul Silebeta (tanggul penahan abrasi Teluk Palu).

Degradasi Lingkungan dan Bencana Ekologis

Selama tahun 2020 ini intensitas kejadian bencana banjir di Sulawesi Tengah cukup tinggi. Hasil pendokumentasian WALHI Sulteng terhadap rentetan peristiwa bencana banjir sepanjang tahun intensitasnya cukup tinggi yakni sebanyak 42 kali dengan wilayah sebaran 9 Kabupaten/Kota. Tidak sedikit yang menjadi korban, baik korban jiwa maupun harta benda milik warga, infrastruktur dan fasilitas umum rusak. Sepanjang tahun 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1 orang hilang, 11 orang mengalami luka, sebanyak 6.383 orang mengungsi, 264 unit rumah warga yang mengalami rusak ringan, rusak sedang 118 unit dan 194 unit rumah yang mengalami rusak berat akibat bencana banjir.

Bencana banjir yang terus berulang semacam ini mayoritas merupakan bencana ekologis yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup. Seperti diketahui sepuluh tahun terakhir Sulawesi Tengah dikepung penetrasi pertambangan dan perkebunan sawit berskala besar. Perubahan lanskap kawasan hutan berimplikasi terhadap fungsi hutan sebagai wilayah penyangga. Selain itu diduga kuat terjadi pembalakan liar (illegal logging) di kawasan hutan dan kawasan konservasi. Disamping itu bencana banjir juga terjadi akibat kebijakan penataan ruang yang tidak memperhatikan aspek kebencanaan. Baik dari sisi kebijakan penataan ruang maupun dari sisi penegakan hukumnya.

Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan

Lemahnya penegakan hukum menjadi satu akar masalah kerusakan lingkungan hidup di Sulawesi Tengah yang sampai saat ini masih menjadi problem utama pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Tengah. Realitasnya dapat kita lihat pada kasus pertambangan emas tanpa izin di Desa Kayuboko Kecamatan Parigi Barat dan Desa Buranga Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong yang mengalami longsor dan menewaskan 6 korban jiwa dan puluhan orang luka. Maraknya kasus pertambangan tanpa izin diduga dibekingi oleh pengusaha sampai saat ini masih menjadi polemik dan belum terlihat penanganan oleh pemerintah dan penegak hukum.

Sebaliknya pada kasus pertambangan ilegal di Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Poso penindakan hanya dilakukan terhadap pekerja tambang yang dijadikan kambing hitam tanpa mengusut tuntas pemodal yang menjadi aktor utama dari pertambangan ilegal di kawasan tersebut. Pembiaran aktifitas pertambangan ilegal dan penangkapan pekerja tambang menunjukkan penegakan hukum yang tebang pilih.

Pada kasus yang lain di penghujung tahun 2020 media online Portalsulawesi.id mewartakan pengolahan galian C milik PT. Tunggal Maju Jaya (TMJ) di Desa Palasa Tangki Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong yang beroperasi tanpa adanya izin eksploitasi tanpa ada penindakan dari aparat penegak hukum.

Demikian pula yang terjadi dengan kasus proyek pembangunan tanggul Silebeta (tanggul penahan abrasi) di wilayah sempadan pantai Teluk Palu yang sudah berjalan terlebih dahulu tanpa adanya dokumen amdal dan izin lingkungan. Munculnya hewan predator buaya yang telah menyebabkan korban luka lengan salah seorang warga pada Desember 2020 merupakan salah satu dampak dari tidak adanya kajian lingkungan hidup yang mempertimbangkan aspek ekosistem DAS dan pesisir Teluk Palu.

Hal yang sama juga terlihat dari tidak adanya penindakan hukum terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran dari aktifitas pertambangan dan pabrik pengolahan nikel serta pabrik pengolahan kelapa sawit di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah.

Rekomendasi

Dari catatan-catatan di atas WALHI Sulawesi Tengah meminta komitmen dari Gubernur terpilih yang akan menjabat sebagai pimpinan pemerintahan daerah di tingkat provinsi untuk :

  1. Mengutamakan fungsi pengendalian kebijakan tata ruang (RTRW) dalam penyusunan kebijakan RTRW Provinsi dan Kabupaten dalam rangka mewujudkan penataan ruang berbasis mitigasi bencana yang adil dan berkelanjutan.
  2. Melakukan pemulihan lingkungan hidup pada wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan lingkungan.
  3. Penyelesaian kasus konflik agraria yang berpihak pada masyarakat sebagai korban konflik.
  4. Kepada Gubernur terpilih untuk mengarusutamakan perlindungan lingkungan hidup dalam pembangunan dan melahirkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang demokratis, adil dan berkelanjutan.
  5. Melahirkan kebijakan tata kelola perkebunan sawit dan pertambangan dalam rangka memaksimalkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah.
  6. Mendorong penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran hukum lingkungan tanpa diskriminasi dan tebang pilih.
Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :