KONFLIK SAWIT ASTRA GROUP DI SULTENG TAK BERUJUNG

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Palu, 7 September 2023. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, merespon tindakan pelepasan lahan seluas 941 hektare yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dalam penyelesaian konflik agraria yang terjadi antara petani di Morowali Utara dan PT Agro Nusa Abadi (ANA) anak perusahaan ASTRA Group. WALHI Sulteng menilai, tindakan yang dilakaukan pemprov Sulteng ini masih jauh dari substansi konflik yang terjadi, justru malah bakal melahirkan konflik baru dan masalah yang lebih rumit lagi. padahal, perampasan tanah dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan ini telah lama terjadi dan terus berlangsung sampai saat ini.

WALHI Sulteng menilai, kerugian yang dirasakan oleh petani selama bertahun-tahun harusnya menjadi perhatian khusus pemerintah terhadap praktik bisnis perusahaan, dalam hal ini PT ANA, sejak beroperasi perusahaan ini telah melanggar hukum dengan tidak mengantongi Hak Guna Usaha (HGU), di awal juga perusahaan ini mermpas tanah petani yang memiliki alas hak sertifikat ataupun SKPT yang masing-masing dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Diantaranya desa Tompira seluas 2.400 ha, desa Bunta 1000 ha, dan desa Bungintimbe 1400 ha. Setelah sebelumnya PT ANA hanya mengantongi Izin Lokasi seluas 7,244.33 ha yang dikeluarkan melalui Keputusan PLT Bupati Morowali Utara Nomor 188.45/Kep-B.MU/0096/VIII/2014.

Konflik agraria antara petani dan perusahaan perkebunan sawit milik ASTRA Group di Sulawesi Tengah terus terjadi sampai berlarut-larut. WALHI Sulawesi Tengah mencatat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terdapat hampir seluruh anak-anak perusahan ASTRA Group dari total enam anak perusahaan yang beroperasi, di antaranya PT Agro Nusa Abadi (ANA), PT Sawit Jaya Abadi (SJA), PT Cipta Agro Nusantara (CAN), PT Rimbawan Alam Sentosa (RAS), PT Lestari Tani Teladan (LTT), dan PT Mamuang ini telah memicu dan menyebabkan konflik agararia yang tiada hent- hentinya.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tentang penyelesaian konflik lahan dan pengembalian lahan, justru

Menimbulkan Konflik baru yang berkepanjangan

Sejarah mencatat kejahatan yang dilakukan oleh PT Ana terhadap masyarakat di 3 desa, ialah Desa Bunta, Desa Bungintimbe, dan Desa Tompira. Mengklaim tanah masyarakat untuk ditanami perkebunan sawit skala besar tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka kehilangan tanah-tanah mareka  sebagai sumber penghidupan keluarga yang berkepanjagan. Yang seharunya mareka kelola dengan cara bertani,berkebun, dan lain sebagainya, ulah tersebut berdampak terhadap ke berlangsungan ekonomi.

bertahun-tahun masyarakat melakukan perlawanan untuk merebut kembali tanahnya dari perusahaan dengan berbagai tindakan kriminalisasi , terror serta dilaporkan mencuri ditanahnya sendiri oleh pihak perusahaan. posisi pemerintah malah melanggenkan kejahatan tersebut tanpa menindaki perusahaan.

Hal ini tidak menginginkan terulang kembali dengan konflik baru, bukan lagi masyarakat dengan perusahaan , tetapi masyarakat dengan masyarakat melalui kebijakan pemerintah pemberian tanah dua desa, yaitu Desa Bungitembe dan Desa Bunta.

WALHI Sulteng menilai kebiajakan yang dikelurkan bukanlah solusi menyelesaikan konflik, malah menimbulkan konflik baru antara masyarakat dengan masyarakat, tanah-tanah yang di rampas oleh perusahaan PT ANA tidak diberikan seluruh masyarakat yang kehilangan tanahnya.

Kecemburuan Sosial Timbul Lingkar Perkebunan Sawit PT ANA  

Dalam pernyataan resminya pihak pemprof Sulteng hanya melepaskan 941 ha di dua desa, yakni desa Bunta dan desa Bungintimbe, namun dalam pelepasannya juga dua desa ini belum terakomodir seluruh luasan lahan yang berkonflik atau dirampas oleh perusahaan, maka dari itu akan timbul kecemburuan sosial di antara petani, juga misal pelapasan lahan ini yang akan dilakukan oleh tim dari bentukan pemprof Sulteng, ini juga belum memastikan terkawal dengan baiknya, yang menjadi pertanyaannya ialah melalui mekanisme apa pemprof Sulteng melepaskan lahan-lahan itu, pengawalannya sampai dimana, kemudian apakah dengan dikembalikan lahan itu sudah menyelasaikan masalah, mengingat juga lahan-lahan warga ini ditengah hempitan konsesi sawit PT ANA dan juga anacaman perluasan konsesi kawasan pertambangan milik PT Gunbuster Nikel Industri.

Pengajuan HGU

Dalam proses penyelasaian kasus ini, pemerinatah Provinsi Sulteng dan Daerah Morowali utara terkesan memanjakan pihak perusahaan dengan memfasilitasi permohonan Hak Guna Usaha. Padahal kalau di telisik lebih cermat, harusnya perusahaan ini di evaluasi secara mendalam dan harus ditindaki sesuai dengan aturan yang berlaku, dalam catatan WALHI Sulteng sendiri, PT ANA telah beroprasi hampir lebih 15 tahun tanpa mengantongi Hak Guna Usah, juga dalam penerbitan izin lokasinya pun ditemukan Maladminsitrasi, karena dikeluarkan oleh PLT Bupati.

Maka dari itu WALHI Sulteng mendesak pemerintah provinsi Sulawesi Tengah untuk meninjau   kembali dan  mempertimbangkan kembali pelepasan lahan seluas 941 ha itu, pemprov harusnya mendesak perusahaan harus mengakui kejahatanya dan juga memulihkan nama baik dan mengembalikan hak yang dimiliki para petani, kemudian baru mengakomodir pengajuan Hak Guna Usahanya.

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :