Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pada 26 Mei 2025 mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035. Rencana ini kembali menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam mendorong transisi energi baru terbarukan masih jauh dari harapan.
Dalam dokumen RUPTL terbaru, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW, yang terdiri dari:
- 42,6 GW energi terbarukan,
- 10,3 GW sistem penyimpanan energi (storage), dan
- 16,6 GW dari energi fosil, yaitu batu bara dan gas.
Kehadiran porsi besar energi fosil dalam perencanaan tersebut menandakan bahwa pemerintah masih melanggengkan ketergantungan pada sumber energi kotor, yang menjadi penyebab utama krisis iklim global. Hal ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C.
Industri Besar Masih Diistimewakan, Rakyat Menanggung Beban
Alih-alih mempercepat dekarbonisasi dan melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim, kebijakan ini justru terus memberi ruang istimewa bagi industri skala besar—terutama sektor nikel—yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca paling signifikan di Indonesia.
Dampak paling nyata terlihat di Sulawesi Tengah, yang kini menjadi “lumbung polusi”. Tiga kawasan industri utama—Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), dan Stardust Estate Investment (SEI)—masih mengandalkan PLTU captive berbahan bakar batu bara, baik yang sudah beroperasi maupun yang dalam tahap konstruksi. Total kapasitas pembangkit di kawasan ini mencapai 8.345 MW (8,4 GW).
Hal ini diperparah oleh keberadaan Permen ESDM No. 25 Tahun 2018 dan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 yang justru mengecualikan PLTU captive kawasan industri nikel dari kewajiban transisi energi, sehingga memperkuat dominasi batu bara dalam sistem kelistrikan nasional.
Masyarakat Terdampak: Dari Nelayan Menjadi Korban Polusi
Kebijakan yang berpihak pada industri ini memberikan dampak langsung terhadap masyarakat lokal, mulai dari kerusakan lingkungan hingga hilangnya mata pencaharian.
Banyak nelayan kehilangan ruang tangkap ikan karena laut tercemar limbah industri dan abu sisa pembakaran batu bara. Mereka terpaksa berpindah profesi demi bertahan hidup. Di saat yang sama, masyarakat kehilangan akses terhadap air bersih karena sumber air telah terkontaminasi logam berat. Kasus penyakit kulit dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) pun terus meningkat.
Salah satu warga terdampak, Hanisa, ibu tunggal yang tinggal di sekitar kawasan industri, menceritakan kisahnya:
“Dulu saya bisa hidup dari hasil laut. Sekarang, saya jualan kue seadanya. Debu dan limbah dari PLTU sudah jadi bagian dari hidup kami sehari-hari. Air tercemar, udara penuh debu, tapi kami tidak punya pilihan lain selain bertahan,” ujarnya pada Sabtu, 26 Oktober 2024.
Yang dihadapi Hanisa adalah realitas ribuan warga lainnya. Fly ash, atau abu terbang hasil pembakaran batu bara, kini mengepung pemukiman mereka—menjadi racun yang tak kasatmata namun sangat nyata.
Kami mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang RUPTL 2025–2035 dan menghapus ketergantungan terhadap batu bara, khususnya di kawasan industri. Transisi energi yang adil dan berkelanjutan hanya akan tercapai jika kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat dan keberlangsungan lingkungan, bukan pada kepentingan jangka pendek industri besar.