Sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 422.K/30.DJB/2017, secara resmi CPM siap beroprasi.
Dalam dokumen Kerangka Acuan Rencana Kegiatan Penambangan dan Pengelolaan Emas di Blok I Poboya, dijelaskan bahwa model pertambangan yang akan dilakukan oleh Citra Palu Mineral adalah model pertambangan bawah tanah (Underground Mining).
Bila diperiksa secara terang, beroperasinya Citra Palu Minerals di Blok Poboya, menyimpan ancaman yang cukup Besar bagi masyarakat sekitar maupun keseluruhan warga Kota Palu.
Operasi CPM dan Catatan Gempa dalam Patahan Palu Koro
Kota Palu Sulawesi Tengah merupakan daerah yang saat ini terdapat Sesar (patahan) yang salah satu Sesar Gempa teraktif di Dunia. Berdasarkan analisis Geologi bahwa, Panjang keseluruhan Sesar Palu Koro adalah sepanjang 500 Km. Sesar ini memotong Kota Palu hampir tegak lurus dari Selatan hingga Utara. Hal tersebut juga di perkuat dengan pernyataan dari seorang ahli Geologi dari LIPI, Danny Hilman yang pernah mengatakan bahwa, Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar. “Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,”.
Membuka lagi catatan sejarah gempa-gempa besar yang terjadi di Pulau Sulawesi Tengah, banyak gempa besar tercatat diakibatkan oleh pergerakan Sesar Palu Koro. Misalnya tahun 1828 silam, sesar Palu Koro pernah mengguncangkan Sulawesi Tengah dan sekitarnya dengan kekuatan 7,9 SR, tanggal 1 bulan Desember tahun 1927, di tengah laut sebelah barat Kota Palu dan Donggala, gempa besar mengguncang dan mengakibatkan air laut naik setinggi kurang lebih 15 meter.
Ada pula catatan gempa besar di tahun 1938 di daratan sekitar Kecamatan Kulawi. Gempa Palu Koro tahun 1938 terekam seismograf pada skala guncangan 7,9 skala richter. 30 tahun berikutnya, di tanggal 15 Agustus tahun 1968 sesar Palu Koro kembali menimbulkan gempa besar setara dengan 7,4 skala richter yang berada di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Gempa tahun 1968 kembali memunculkan tsunami besar setinggi 10 meter.
Sejarah gempa paling mudah di ingat yaitu guncangan Sesar Palu Koro di tahun 1996 (7,9 skala richter), juga di tahun 2012 dengan skala 6,1 skala richter dengan episentrum di dekat Danau Lindu, Kabupaten Sigi.
Bila Melihat fakta ini, keberadaan CPM yang melakukan Ekploitasi dengan menggunakan Bom/ Dinamit Untuk peledakan dalam membuat terowongan tambang dapat berdampak terhadap aktifitas Palu Koro. Getaran Ledakan yang Besar akan berdampak/ Merambat hingga memungkinkan memunculkan reaksi gempa sepanjang Patahan Palu Koro. Getaran tersebut bisa memunculkan berbagai macam ancaman, misalnya gempa, Tsunami dsb. sehingga ini perlu menjadi bahan analisis yang tajam.
Masyarakat Kota Palu Harus bercermin dari Sidoarjo
Beberapa tahun silam, kelalaian korporasi Lapindo Brantas yang melakukan pengeboran di Porong sidoarjo telah meninggalkan catatan Kelam dalam sejarah petambangan di Indonesia.
Perusahan yang sebagian besar sahamnya dimiliki Oleh Grup Bakrie tersebut telah mengakibatkan tenggelamnya 16 desa di tiga kecamatan. Dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak Kurang 25.000 jiwa mengungsi. 10.426 unit rumah terendam lumpur.
Hal tersebut seharusnya menjadi catatan masyarakat Kota Palu, bahwa terkait pertambangan yang tidak memikirkan dampak, akan memunculkan ancaman yang sudah pasti akan dibayar mahal oleh kita. Apalagi CPM sendiri merupakan perusahaan yang dimiliki oleh Bakrie Grup, yang mempunyai sejarah kelam pertambangan di Indonesia seperti yang pernah terjadi di Porong Sidoarjo.
Sehingga masyarakat Kota Palu jangan melupakan bencana yang pernah terjadi Di Porong Sidoarjo tersebut. Keberlangsungan hidup manusia dan segala yang ada merupakan tanggung jawab bersama sehingga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup bisa terus terjaga. (ADM)