PPutusan Pengadilan Negeri Pasangkayu yang menjatuhi hukum 5 bulan penjara kepada Hemsi (Petani di Kecamatan Rio Pakava) makin menunjukan kebobrokan dan ketidakdilan hukum kepada petani.
Seperti yang kita pahami bersama, kasus yang dialami oleh Hemsi bukan kali ini saja terjadi. Di tahun 2017, ada 4 Petani di Polanto Jaya (Rio Pakava) yang juga diputus kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu. Penegakkan dan semangat supremasi hukum telah dikangkangi atas putusan terhadap Hemsi Senin 25 Maret 2019 lalu.
Selama proses persidangan Hemsi, ada beberapa point penting yang menurut kami tidak masuk diakal dan memberikan kesan (Dugaan) bahwa, apa yang dialami oleh Hemsi adalah bagian dari skema korporasi yang menggunakan perangkat negara untuk mengkriminalisasi petani.
Pertama, Majelis Hakim yang sependapat dengan Penasehat Hukum Hemsi bahwa, sengketa lahan antara Hemsi dan PT. Mamuang harus diselesaikan secara Perdata karena masing-masing, baik Hemsi dan PT. Mamuang mengklim lahan itu adalah milik mereka. Tapi dalam putusan, Majelis Hakim justru menerangkan bahwa, Hemsi tidak dapat membuktikan lahan tersebut adalah milik dia dan bagi Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa sawit yang ada dalam lahan tersebut ditanam oleh PT. Mamuang. Sehingga dengan pertimbangan konyol ini, Majelis Hakim menganggap Hemsi malakukan pencurian.
Kedua, Apa yang dijelaskan oleh Majelis Hakim dalam putusan tersebut, menurut kami seperti guyonan tak lucu. Bagaimana tidak, Majelis Hakim dalam mengambil keputusan, tidak mempertimbangkan bukti yang diajukan oleh Hemsi baik berupa kwitansi pembelian bibit, kwitansi jasa pembersihan lahan serta keterangan saksi meringankan dari Hemsi. Padahal selama proses sidang, Hemsi dapat menunjukan bukti-bukti tersebut dengan membawa puluhan alat bukti dan ini tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Ketiga, Pada saat Pemeriksaan Setempat (PS) yang menghadirkan ahli dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasangkayu, ahli tersebut tidak dapat menunjukan titik koordinat batas HGU PT. Mamuang. Sehingga menurut kami putusan ini adalah putusan sesat.
Disini makin terang bahwa, apa yang dialami oleh Hemsi saat ini adalah bentuk ketidakadilan Hukum kepada petani. Hemsi yang mempertahankan tanahnya untuk mempertahankan hidup bersama keluarganya, harus berhadapan dengan buruknya peradilan di republik ini.
Kami juga menduga bahwa, putusan Majelis Hakim terhadap Hemsi memang sudah dipersiapkan sejak awal. Karena jarak pembacaan Pledoi dan pembacaan putusan hanya berselang dua hari, yang dalam asumsi kami itu terlalu singkat. Ada yang tidak beres dalam soal ini.
Atas putusan ini, Hemsi dan Tim kuasa hukumnya akan melakukan banding. Sebab sampai kapanpun, Hemsi akan tetap mempertahankan tanahnya yang diklaim oleh korporasi haus lahan PT. Mamuang (Anak perusahaan Astra Agro Lestari), dan akan terus melawan putusan yang menuduh bahwa ia terbukti mencuri. Menurut Hemsi, Justru PT. Mamuang lah pencuri lahan masyarakat, pelaku penyerobotan lahan yang sangat bebal hukum karena memiliki modal besar yang dapat membeli apa saja.