Satu tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala, Pemkab Sigi dan Pemkab Parigi Moutong sedang menginisiasi merevisi kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Bukan tidak beralasan, inisiasi perubahan perda RTRW ini merupakan implikasi dari kejadian bencana gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 dengan empat wilayah paling terdampak mencakup 4 kabupaten/kota yaitu Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo). Perubahan bentang alam pascabencana, penemuan baru tentang titik krusial rawan bencana, analisis kerentanan yang mengharuskan bagi Pemprov dan Kabupaten/Kota untuk mengarusutamanakan aspek kebencanaan dalam kebijakan RTRW.
Namun perubahan kebijakan RTRW ini juga membuka peluang bagi kepentingan investasi untuk mengintervensi dan memasukkan agenda kepentingannya. Baik bagi korporasi bisnis yang eksisting sebelum bencana maupun kepentingan korporasi yang memproyeksikan akan menanamkan investasinya di berbagai bidang. Bahkan beberapa proyek penanganan pascabencana yang sudah memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi (rehabrekon) serta upaya mitigasi yang akan didanai oleh lembaga keuangan dan bantuan internasional melalui skema hutang (loan) semakin menguatkan indikasi bahwa bencana bukan hanya sekedar tragedi kemanusiaan, namun sebaliknya bencana merupakan arena bagi mereka untuk mengeruk keuntungan.
Maka tidak heran jika lembaga internasional seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) dan perusahaan tambang PT. Citra Palu Mineral (PT.CPM) terlibat aktif dalam setiap tahapan dan kegiatan yang berkaitan dengan revisi kebijakan RTRW dari level kabupaten/kota hingga level provinsi. Bukan tidak mungkin intervensi tersebut justru akan memperluas wilayah eksploitasi sumber daya alam dan sebaliknya mempersempit wilayah kelola rakyat secara umum dan secara khusus berdampak pada kehidupan kelompok perempuan sebagai kelompok rentan.
Diskusi tersebut mengemuka dalam kegiatan Temu Perempuan Penyintas bertajuk Bangkit, Bersolidaritas dan Pulih Menuju Kedaulatan Perempuan yang digelar oleh Solidaritas Perempuan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja dalam penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah. Kegiatan ini berlangsung selama 2 hari dari tanggal 2 s/d 3 Desember di Aula Gedung Inspektorat Provinsi Sulteng.
Dihari pertama, sebagai rangkaian Temu Perempuan Penyintas ini, sebuah Workshop bertema Mendesak Kebijakan RTRW dan Zonasi yang Berpihak Kepada Perempuan untuk memberikan pemahaman secara mendalam kepada perempuan penyintas tentang arah kebijakan RTRW pascabencana dan dampaknya terhadap kehidupan perempuan penyintas di masa yang akan datang.
Salah seorang perempuan penyintas asal Kota Palu Sri Tini Haris mengungkapkan bahwa setelah pemerintah menetapkan zona merah (zona rawan bencana tsunami), pemerintah melarangnya membangun kembali rumah pada lahan bekas rumahnya di Kelurahan Talise yang hancur akibat terjangan tsunami. Padahal ia memiliki sertifikat sebagai alas hak atas lahan itu. Menurutnya keputusan pemerintah tersebut tidak adil karena di lokasi lain yang juga sudah ditetapkan sebagai zona merah pemerintah tetap membiarkan bangunan hotel dan mall tetap beroperasi. Bahkan di daerah sepanjang lepas pantai akan dijadikan sebagai kawasan bisnis dan jasa.
“Kami menolak tawaran pemerintah untuk memindahkan kami di lokasi hunian tetap di atas gunung yang jauh dari daerah pantai. Kami ini nelayan, tidak terbiasa hidup di gunung” tegas Sri Tini.
Hal yang sama juga terjadi dengan kelompok perempuan petani di sekitar kawasan Konservasi. Salah seorang peserta dari Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Ivon Palombe mengeluhkan keterbatasan wilayah kelola perempuan petani sejak pemerintah menetapkan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). “Dengan lahan yang sangat terbatas dan populasi penduduk yang terus bertambah maka secara otomatis juga membutuhkan wilayah produksi yang lebih luas, sementara kita dibatasi oleh keberadaan TNLL. Pemerintah seharusnya memberikan akses kelola yang lebih luas kepada kami untuk mengelola lahan. Paling tidak 400 hektar” ujar Ivon.
Masalah konflik ruang yang dialami oleh Sri Tini Haris dan Ivon Palombe hanyalah secuil cerita dari kompleksitas problem tata ruang yang dihadapi oleh rakyat secara umum dan khususnya bagi kelompok perempuan. Belum lagi masalah perempuan di wilayah lingkar tambang dan dampak pencemaran lingkungan seperti ancaman pencemaran air di wilayah Poboya bilamana PT. CPM beroperasi. Padahal Poboya adalah salah satu wilayah penyuplai air bersih bagi masyarakat Kota Palu. Dimana perempuan merupakan kelompok yang paling membutuhkan ketersediaan suplai air bersih.
Tata ruang dan zonasi di wilayah bencana yang seharusnya menjadi ruang berdaulat bagi penyintas bencana justru menjadi ajang transaksional pemerintah dan investor. Perempuan yang memiliki relasi dengan alam, baik sebagai sumber ekonomi, ruang sosial politik, maupun budaya dan spiritualitas, yang secara turun temurun menjaga kearifan lokal sehingga terjalin relasi yang mutual justru dieliminasi dalam rapat-rapat pengambilan keputusan. Masyarakat, khususnya perempuan, hanya dipandang sebagai objek kebijakan yang tidak berdaya dan tidak memiliki pengetahuan. Pembangunan yang demikian, telah memanfaatkan kondisi dan korban bencana untuk mengeruk keuntungan.
Karena itu salah satu amanat penting dalam Deklarasi Perempuan Penyintas Bersama Relawan pada tanggal 3 Desember 2019 adalah menuntut pemerintah untuk menjamin haknya konstitusional kaum perempuan untuk terlibat aktif secara bermakna dalam seluruh proses pengambilan keputusan dalam pembangunan dan pemulihan pasca bencana, termasuk penentuan pemanfaatan ruang hidupnya. Olehnya itu menjadi penting bagi kaum perempuan di Sulteng untuk menyuarakan hak-hak dan kepentingannya agar revisi kebijakan RTRW juga mengakomodir hak dan kepentingan kelompok perempuan.