Palu, 23 Maret 2025 – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah bersama Yayasan Tanah Merdeka (YTM), baru-baru ini meluncurkan hasil riset terbaru bertajuk “Daya Rusak PLTU Captive” mengungkap fakta-fakta mengkhawatirkan dampak polusi udara, pencemaran air, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hingga kriminalisasi rakyat yang diduga dilakukan oleh Kawasan Industri Pengolahan Nikel Indonesia Huabao Industri Park (IHIP) yang berada di Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Peluncuran hasil riset berlangsung di Jazz Hotel Palu pada Minggu (23/3), dihadiri sejumlah Ngo, jaringan lembaga advokasi lingkungan dan sosial kemanusiaan, akademisi dan lembaga mahasiwa luar kampus serta kalangan jurnalis media pers.
Peluncuran ini menghadirkan Sunardi Katili, Direktur WALHI Sulawesi Tengah sebagai Opening Speech, Richard Labiro Direktur Yayasan Tanah Merdeka Pembicara Utama, Aristan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dan Bondan Andriyanu dari Climate and Energy Team Leader Greenpeace Indonesia sebagai Penaggap.
IHIP merupakan kawasan industri pengolahan nikel yang didanai oleh Tiongkok, Zhensi Indonesia Industrial Park pemegang saham terbesar 51% sementara Beijing Shengyue Oriental Investment Co Ltd sebesar 10,28%, Kejayaan Emas Persada 27,45% dan Himalaya Global Investment sebesar 11,27%.
Menelan biaya tidak sedikit, sebesar Rp. 14 Triliun, pembangunan kawasan industri ini masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk kebutuhan sendiri yang disebut PLTU Captive dengan kapasitas 350 MW dan target ekspansi ke 450 MW dan batu bara sebagai bahan bakar utama guna mendukung produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, bahan baku stainless steel, carbon steel dan MHP bahan dasar pembuatan baterai kendaraan listrik.
Investasi begitu besar dan mahal mengorbakan rakyat sebagai penerima dampak buruk dari produksi nikel setengah jadi ini yang didalam kawasan tersebut terdapat Smelter, Jetty dan PLTU Captive saling terhubung satu sama lain dan berada sangat dekat dengan pemukiman warga, sekolah, pasar dan fasilitas umum lainnya.
Sebagai contoh, di Desa Ambunu, PLTU Captive ini hanya berjarak 100 meter dari Sekolah Dasar (Ibtidaiyah) dan Sekolah Menengah Pertama (Tsanawiyah) Alkhairaat, sudah pasti mengancam kesehatan anak – anak maupun orang dewasa akibat paparan udara yang mengandung zat kimia tertentu yang dihasilkan dari pembakaran PLTU tersebut.
Data Puskesmas Wosu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali menunjukkan peningkatan drastis kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Tahun 2021 ada 735 kasus, Tahun 2022 tercatat 1.200 kasus, terlihat lonjakan yang cukup tajam ditahun 2022 ini dan Tahun 2023 terdapat 1.148 kasus.
Angka tersebut membuktikan bahwa aktivitas industri pengolahan nikel di Morowali ini langsung memberikan dampak pada kesehatan warga, namun disinyalir Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Pusat justru melakukan pembiaran terhadap industri ini terus beroperasi.
Selain ISPA, kebisingan suara saat kawasan industri ini beroperasi diantara pemukiman warga dan sarana belajar mengajar sekolah juga potensi mencemari laut, pesisir dan sungai di Morowali. Limbah yang berasal dari pengolahan nikel yang tidak terkontrol dapat mencemari air laut dan merusak ekosistemnya yang berdampak pula bagi habitat kehidupan laut seperti ikan dan hewan-hewan laut lainnya menyebabkan mata pencaharian nelayan terancam hilang. Belum lagi rentan konflik perusahaan dengan warga setempat, saat warga menolak keberadaan kawasan industri ini justru terjadi dikriminalisasi.
Kawasan industri yang dibangga-banggakan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Program Hilirisasi yang dicanangkan Pemerintah, bukannya memberikan kesejahteraan, kehadirannya justru menciptakan kemiskinan struktural akibat keserakahan eksploitasi SDA tanpa perencanaan keselamatan ekologis lingkungan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang matang.
Retorika transisi energi bersih dengan berbagai regulasi saat ini kerap didengung-dengungkan pemerintah hanyalah bualan semu, selama PLTU Captive masih beroperasi selama itu pula kerusakan lingkungan tetap terjadi dan jika pemerintah benar – benar peduli pada masa depan ekolgis dan lingkungan serta kehidupan rakyat segera hentikan investasi energi kotor sekarang juga.
Hasil riset dibawah linl dibawah ini
Daya Rusak PLTU Captive PT. IHIP
Olehnya melalui Diskusi Publik ini dan Peluncuran Hasil Riset Daya Rusak PLTU Captive di Morowali, maka Walhi Sulawesi Tengah menyerukan dan mendesak :
- Pemerintah Pusat dan Pemerintah Sulawesi Tengah segera menghentikan beroperasinya PLTU Captive dalam kawasan industri pengolahan nikel di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara.
- Pemerintah Sulawesi Tengah segera melakukan monitoring dan evaluasi total terhadap seluruh izin-izin usaha pertambangan dan izin-zin industri pengolahan nikel di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara yang diduga telah gagal melindungi ekologis dan lingkungan serta kesejahteraan rakyat.
- Pemerintah Sulawesi Tengah sengera hentikan kriminalisasi – kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak tanah, hak atas lingkungan yang sehat.
Berharap agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Sulawesi Tengah dapat segera merealisasi seruan dan desakan ini demi penyelamatan ekologis lingkungan dan HAM.
Narahubung
082215534058 : Wandi, Manager Kampanye WALHI Sulawesi Tengah.