PLTU PT IHIP Sedang Memiskinkan Penduduk Lokal di Lingkar Tambang

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

PELUHNYA menganaksungai.  Tenaganya tampak kepayahan mengayun sekop berisi semen. Matahari siang itu memang tidak bisa diajak kompromi. Namun panas yang menghunjam tak dihiraukannya. Ia terus mengangkat adukan semen.

Sesaat kemudian ia menghentikan pekerjaannya. Panggilan makan siang menggema dari dalam rumah.  Ia meletakkan sekop, menyeka keringat lalu menenggak air sebotol yang tersisa setengah. Sesaat kemudian tubuhnya menghilang dari balik rumah papan.  Dia adalah Hamirudin (57). Bapak empat anak ini, sudah dua tahun menjalani profesi sebagai buruh bangunan.

Hamirudin sejatinya adalah nelayan di Desa Tondo. Ia sudah puluhan tahun menjalani profesinya. Empat orang anaknya dan sebuah bangunan rumah permanen empat kamar, dibiayai dari hasil melaut. Namun, ia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan, setelah bangunan PLTU batubara milik PT Indonesian Huobao Industrial Park ( PT IHIP) membangun PLTU sekaligus menutup satu—satunya akses nelayan menuju pantai.

Sejak saat itu, Hamirudin dan sekitar 30 kawannya berhenti menjadi nelayan. Perusahaan bahkan menimbun habis perahu mereka bersamaan dengan diserahkannya ganti rugi yang berkisar antara Rp15 juta hingga Rp30 juta per buah. Ia dan koleganya sempat menggelar demo. Mengajukan protes atas tindakan sepihak perusahaan. Namun protes mereka tak pernah mendapat tanggapan.

Ganti rugi yang dari perusahaan menurut dia tidak sepadan. Mengingat, mereka telah kehilangan sumber penghasilan yang sudah berjalan turun temurun. Dulu, penghasilan dari melaut  sedikitnya Rp500 ribu per hari. ‘’Saya punya pukat. Sekali tarik hasilnya 500-an ribu. Itu dipakai bangun rumah dan biaya anak sekolah,’’ ungkap Hamirudin yang ditemui, 23 Oktober 2024 lalu. Sesaat kemudian, ia terdiam membayangkan upah buruh bangunan yang tidak sepadan dengan penghasilan melaut.

Kini, sebagai buruh bangunan lepas, ia mendapat upah Rp200 ribu per hari. Dengan tenaga yang makin menua, menjadi buruh bangunan menurut dia, sebenarnya terasa berat. Namun, terpaksa harus dijalani karena tidak ada mata pencaharian lain. Lagi pula sebagai buruh lepas, order pekerjaan tidak datang setiap hari. ‘’Kadang ada, kadang juga tidak. Tergantung jika ada yang mau dikerjakan,’’ katanya dengan nada pelan.

Untuk menambal penghasilan, istrinya berjualan nasi kuning di sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah. ‘’Tapi hasilnya tak seberapa juga. Kadang untuk biaya hari-hari terasa sulit,’’ katanya. Beruntung, anak-anaknya kini sudah dewasa sudah menyelesaikan pendidikannya. Ada yang sudah menikah dan ada yang bekerja sebagai abdi negara.

Sesaat kemudian, Hamirudin mengenang masa-masa kejayaan sebagai nelayan. Dimana semua kebutuhannya bisa ditutupi dengan hasil melaut. Meninggalkan profesi yang sudah dijalaninya diakui sangat berat. Melaut bukan sekadar mencari penghidupan. Tapi menjalankan legasi dari orang-orang tua terdahulu.

Dalam setiap ucapannya, Hamirudin terdengar nelangsa mengenang profesi yang ditinggalkannya. Pekerjaan yang tak semata untuk menegakkan harkat dirinya sebagai kepala rumah tangga yang berhasil menghidupi anggota keluarga. Tapi ia gundah karena kebudayaan bahari yang diwarisinya dari orang-orang tuanya terdahulu harus terhenti oleh aksi sepihak perusahaan.

Ia mengenang, di ufuk yang dulu merona dengan senja,  bayangan perahu nelayan hilang dalam timbunan pasir reklamasi. Ombak yang dulu menjadi sahabat, kini seakan asing saat pesisir pantai dikuasai oleh seliweran pipa milik PLTU. Setiap tarikan jala kini tinggal cerita kenangan yang tergulung bersama ombat laut.  Ia trenyuh ketika memandang laut yang tak lagi memberi apa-apa pada diri dan kehidupannya.

Tak lagi melaut,  kolega lainnya mulai mencari peluang penghidupan yang baru. Dalam ingatannya, dari 30 rekannya sesama nelayan, beberapa ada yang menjadi buruh pemecah batu, dua orang menjadi buruh kasar di perusahaan tambang PT IHIP dan sisanya menjadi buruh lepas seperti dirinya. Menjadi buruh pemecah batu, tantangannya sangat serius.  Selain upah yang tak seberapa, keselamatan fisik juga menjadi taruhan.

Gunung sumber bebatuan berjarak dua kiloan dari Desa Tondo. Di wilayah yang bersisian dengan kawasan penggilingan pasir dan batu (sirtu) milik PT IHIP sejumlah buruh tampak berjibaku dengan batu-batu besar di punggung bukit dengan elevasi 60 derajat. Pekerjaan yang minim perlindungan kerja. Para buruh ada yang telanjang dada, hanya beberapa yang menggunakan lengan panjang, kaos tangan dan sepatu. Beberapa di antaranya, ada yang telanjang kaki dan tidak menggunakan pelindung tangan.

Mereka bekerja mulai pukul 08.00 hingga 17.30. ‘’Bisa juga sampai malam jika ada truk yang datang malam,’’ jelas salah satu buruh berusia belasan tahun. Di ketinggian sekitar 20 meter, mereka mencungkil bebatuan dengan linggis. Bongkahan batu itu kemudian dipecahkan dengan palu seberat 5 kilo untuk membentuk batu pondasi dan batu mangga, sebutan untuk kerikil timbunan.

Para buruh diupah bervariasi. Buruh pengumpul batu pondasi diupah sebesar Rp200 ribu per hari. Sedangkan buruh angkut sebesar Rp150 ribu per hari. Satu truk yang berisi 5 kubik dijual seharga Rp800 ribu untuk wilayah Desa Tondo. Jika ke Desa tetangga seperti Desa Ambunu, harganya mencapai Rp1 juta untuk satu truk. ‘’Makin jauh jaraknya, makin mahal harganya,’’ rinci Hamirudin.

Salah satu nelayan yang alih profesi menjadi buruh pengumpul batu mengaku, ia terpaksa menjadi buruh setelah perahunya ditimbun pasir reklamasi untuk pembangunan PLTU. Penghasilan sebagai nelayan menurut dia, jauh lebih baik dibanding pengumpul batu seperti yang dijalaninya sekarang. Namun, untuk menghidupi tiga anaknya, ia akhirnya banting setir mencari sumber penghasilan lain. Ditanya namanya, ia menolak merinci identitasnya. ‘’Tidak usah ditulis nama saya,’’ katanya saat penulis menanyakan identitasnya.

Selain dirinya, masih ada rekannya mantan nelayan yang bekerja seperti dirinya. ‘’Dia tidak datang, anaknya sakit,’’ responsnya singkat. Ditanya apakah penghasilannya cukup untuk menutupi kebutuhan pokok di rumahnya, ia hanya menggeleng pelan. Usai menenggak air mineral, ia  kemudian berjalan menuju punggung bukit mengambil batu-batu lancip itu dan menggulirkannya kebawah.

Di antara debu dan serpihan batu, tangan-tangan kasar yang dulu bersahabat dengan air laut, kini mengayun palu di bawah terik matahari dan punggung bukit yang terjal. Sang nelayan, yang dulu hidup mengikuti irama ombak, kini menyesuaikan diri dengan gemuruh yang berbeda, meraup asa setipis debu. Di setiap hentakan palu, mereka merangkai ulang mimpi yang tersisa. Meninggalkan kenangan pada laut yang dulu menghidupi, beralih menjadi buruh di daratan yang tak pernah mereka impikan.

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :