Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir aktifitas pertambangan di Kabupaten Morowali telah berdampak serius terhadap wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil Kabupaten Morowali. Jika kita menyusuri wilayah pesisir Kecamatan Bungku Timur, Bahodopi dan Bungku Pesisir dengan mudah dapat kita lihat wilayah tersebut telah tercemar lumpur pekat sisa galian perusahaan tambang yang terbawa dan mengendap di sepanjang wilayah pesisir ketiga kecamatan tersebut. Demikian pula dengan ekosistem laut yang menjadi sandaran komunitas masyarakat nelayan pulau-pulau kecil di Kecamatan Bungku Selatan juga ikut tercemar.
Padahal Kabupaten Morowali adalah daerah yang memiliki potensi perikanan tertinggi di Sulawesi Tengah. Tingkat produktifitas sektor perikanan laut Kabupaten Morowali jauh mengungguli Kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah. Tahun 2018 Dinas mencapai 34.127 ton per tahun atau 20 persen dari total produksi perikanan provinsi Sulawesi Tengah di tahun 2018 dengan total produksi mencapai 167.441 ton per tahun.
Data Dinas Perikanan Kabupaten Morowali tahun 2018 menunjukkan fakta bahwa di Kabupaten Morowali terdapat 7.138 kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari perikanan tangkap dan 703 kepala keluarga yang mengandalkan penghasilan dari perikanan budidaya di wilayah pesisir dan laut Morowali. Kecamatan Bungku Selatan, Menui Kepulauan dan Bungku Pesisir adalah wilayah yang paling banyak dihuni oleh komunitas nelayan tangkap dan petani rumput laut. Di Kecamatan Bungku Selatan terdapat 3.249 kepala keluarga nelayan. Sementara itu di Kecamatan Menui Kepulauan terdapat 2.530 kepala keluarga nelayan.
Sementara itu seiring dengan semakin massifnya aktivitas pengerukan ore oleh perusahaan pertambangan nikel yang berdampak pencemaran di wilayah pesisir dan laut, jumlah rumah tangga nelayan di Kecamatan Bungku Pesisir dan Bahodopi terus mengalami penurunan. Paling tidak terdapat 6.220 total jumlah rumah tangga nelayan di empat Kecamatan tersebut yang menggantungkan penghidupannya dari potensi perikanan tangkap, perikanan budidaya laut dan keramba.
Semua potensi kekayaan dan perikanan laut itu kini sedang menghadapi ancaman serius. Sebuah proyek pembuangan limbah tailing berskala besar di wilayah laut Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi tengah direncanakan oleh PT. Hua Pioneer Indonesia (HPI). PT. HPI sendiri merupakan perusahaan patungan yang dibentuk oleh tiga perusahaan industri pembuatan baterai lithium di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Perusahaan ini rencananya memproyeksikan akan membuang 25.300.000 ton limbah tailing dalam bentuk padat di wilayah laut Desa Fatufia seluas 396,9 hektar dengan kedalaman 150 hingga 250 meter. Saat proses ini proses permohonan izin pembuangan limbah beracun ini masih dalam pengkajian untuk mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Berkaitan dengan rencana pembuangan limbah tailing ini WALHI Sulawesi Tengah dengan tegas menyatakan menolak pemberian izin lokasi kepada PT. HPI. Karena rencana pembuangan limbah tailing ini sangat kontradiktif dengan kebijakan perlindungan nelayan dan kebijakan perlindungan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Sebagimana kebijakan pemerintah yang tertuang dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam yang menyatakan bahwa “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam”.
Selain itu menurut Direktur WALHI Sulawesi Tengah Abdul Haris kuat dugaan jika rencana tersebut diberi izin akan melanggar Perda Nomor 10 tahun 2013 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2017-2037. Dimana dalam pasal 11 ayat 2 huruf (c) menyatakan bahwa Pantai Tangofa, Pulau Sombori, Pulau Langala, Pulau Kayangan, Pulau Kokoila, Pulau Dua Laut dan Pulau Umbele yang masuk dalam Zona Pariwisata. Satu kawasan pesisir dan enam pulau-pulau kecil yang masuk dalam Zona Pariwisata ini akan terancam kelestariannya jika izin pembuangan tailing ini dikeluarkan oleh pemerintah. Terutama pulau Langala yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari lokasi rencana pembuangan limbah tailing PT. HPI.
Pasal 15 Ayat 2 huruf (f) perda tersebut juga menetapkan wilayah pesisir Kecamatan Bahodopi, Bungku Selatan, Bungku Pesisir dan Menui Kepulauan masuk dalam zona hutan mangrove yang harus dilindungi. Selain itu pasal 9 ayat 2 huruf f yang mengatur tentang zona perikanan tangkap yang berada tepat di lokasi pembuangan tailing. Faktanya ujung rencana lokasi pembuangan tailing yang mencolok ke laut itu terdapat lokasi rumpong (alat penangkap ikan) warga.
Lebih lanjut Haris menjelaskan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 52/Kepmen-KP/2019 tentang Kawasan Konservasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Morowali, Morowali Utara, Dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Tengah telah menetapkan beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan menjadi kawasan konservasi yang harus dilindungi. Dimana lokasi rencana pembuangan limbah tailing PT. HPI hanya berjarak sekitar 43 km dari laut Pulau Dua, Pulau Umbele, Pulau Panimbawanghanya di Kecamatan Bungku Selatan yang merupakan kawasan konservasi ekosistem laut yang harus dilindungi karena telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hdiup dan Kehutanan Nomor 12 Tahun 2018 yang secara substansi tidak memperbolehkan pembuangan limbah tailing pada daerah upweling. Sementara dari dokumen rencana PT. HPI, jaringan pipa akan membuang limbah tailing pada kedalaman 150 -250 meter. Dimana di dalam dokumen pemaparan perusahaan kepada pemerintah mereka menganggap wilayah ini bukan daerah upwelling berdasarkan peta regional tata ruang laut. Dari argumentasi tersebut perusahaan beranggapan limbah tailing akan tenggelam ke dasar laut. Namun argumentasi tersebut belum disertai dengan data analisis wilayah upwelling secara mendetail. Padahal dari penyelaman yang dilakukan Sombori Diving Club, faktanya terbukti bahwa laut Morowali di Kecamatan Bahodopi, Bungku Pesisir, Bungku Selatan dan Menui Kepulauan wilayah tersebut merupakan daerah upweling, karena banyak wilayah penangkapan ikan nelayan. Seperti biasanya wilayah yang tangkapan ikan laut banyak terdapat wilayah upwelling.
Persoalan yang lain yang krusial yang penting untuk menjadi perhatian pemerintah sejak tahun 2016 sampai saat ini paling tidak terdapat 2 kasus kerusakan lingkungan di wilayah laut Morowali yang hingga saat ini belum ada upaya serius untuk melakukan pemulihan. Menurut Haris, hal ini penting untuk menjadi pertimbangan bagi pemerintah sebelum berpikir untuk mengeluarkan izin pembuangan tailing ke laut Morowali. Kasus tersebut diantaranya tenggelamnya 1 unit kapal pengangkut batu bara pada 27 Juni 2020 di wilayah laut Morowali (posisi terletak pada titik koordinat -2049’0,34108’’S 122010’44,43074’’E). Tumpahan batu bara dan BBM kapal tersebut telah mencemari laut Morowali.
Selain itu pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai penyuplai energi listrik industri pengolahan nikel di kawasan PT. IMIP membuang limbah panas cair di wilayah laut Desa Fatufia. Sehingga mencemari laut dan membuat suhu air laut meningkat sehingga nelayan di Desa Fatufia tidak bisa lagi menangkap ikan menggunakan keramba jaring apung karena suhu air laut yang mencapai 39 derajat celcius. Sementara ikan hanya bertahan di suhu 34 derajat celcius. Melihat kasus ini Kantor Karantina Luwuk telah merekomendasikan kepada nelayan untuk tidak lagi melakukan aktifitas budidaya ikan di sekitar wilayah tersebut. Jarak antara Dusun Kurisa dengan lokasi rencana area pembuangan tailing hanya kurang dari 1 kilometer.
Berdasarkan hasil observasi lapangan WALHI Sulteng di Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Timur, Bungku Pesisir dan Kecamatan Bahodopi, saat ini aktifitas pengerukan ore oleh perusahaan tambang telah menimbulkan dampak serius di sepanjang wilayah pesisir dann pulau-pulau kecil. Dimana pada musim hujan lumpur pekat sisa hasil galian terbawa dan mencemari dan menjadi mengendap di sepanjang wilayah tersebut. Sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem padang lamun, mangrove sebagai tempat berkembangbiaknya ikan teri mengalami degradasi. Sementara petani rumput laut mengalami penurunan produktivitas.
Dari hasil kajian dan temuan-temuan di lapangan, Selasa 18 Agustus 2020 WALHI Sulteng melakukan audiens dengan tim teknis lintas sektoral yang telah dibentuk oleh Gubernur Sulawesi Tengah. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Asisten Gubernur Bidang Perekonomian dan Pembangunan Dr. Elim Somba, M.Sc selaku Ketua Tim Teknis. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta Bagian Hukum Setda Provinsi Sulawesi Tengah.
Terhadap temuan-temuan hasil kajian, temuan lapangan dan rekomendasi WALHI Sulteng Bapak Elim Somba selaku ketua tim teknis menyatakan akan menjadikan temuan dan hasil kajian tersebut sebagai salah satu pertimbangan bagi tim teknis. Elim Somba mengungkapkan bahwa saat ini proses perizinan belum dikeluarkan oleh pemerintah pusat, masih menunggu pemberian izin lokasi dari Gubernur Sulawesi Tengah.
“Izin lokasi itu dikeluarkan oleh Gubernur. Tapi sebenarnya itu ada aturannya, kalau di atas 12 mil dari pesisir itu menteri yang keluarkan, tapi karena ini dibawah 12 mil, izin lokasinya dikeluarkan oleh Gubernur. Tapi ada aturan lagi yang mengatakan bahwa Gubernur bisa mengeluar izin lokasi sesuai rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara saat ini Menteri Kelautan sudah memberi rekomendasi” terang Elim Somba.
Berselang beberapa hari, melalui sebuah dokumen lembar fakta WALHI Sulteng telah merekomendasikan kepada tim teknis lintas sektor yang telah dibentuk oleh Gubernur merekomendasikan agar pemerintah melakukan kajian berkaitan dengan oceanografi, kerentanana wilayah laut, patahan aktif rawan gempa, kajian upwelling dan daerah-daerah sensitif. Pasalnya 34 studi yang diklaim telah dilakukan oleh tim kajian PT HPI patut dipertanyakan objektifitas dan netralitasnya. Masyarakat nelayan di Kecamatan Bahodopi, Bungku Pesisir, Bungku Selatan dan Menui Kepulauan sama sekali belum mengetahui rencana pembuangan tailing oleh PT. HPI. Sehingga kita membutuhkan perbandingan studi yang dikeluarkan resmi oleh Pemerintah.
Selain itu Dinas Lingkungan Hidup harus melakukan kajian baku mutu terkait limbah tailing yang di produksi oleh PT HPI yang rencananya akan di buang ke laut Morowali. Menurut Haris ini perlu dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi wilayah konservasi laut baik yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri maupun wilayah yang memiliki fungsi untuk perlindungan dalam Perda RZWP3K yang berpihak kepada komunitas masyarakat nelayan.
“Berdasarkan hasil temuan tersebut kami melihat adanya ancaman serius terhadap ekosistem laut dan penghidupan masyarakat nelayan Morowali. Oleh karena itu kami mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan izin lokasi pembuangan limbah tailing di laut Morowali” Tegas Haris.