Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng bersama Solidaritas Perempuan dan Rakyat untuk Kesetaraan (SETARA) bersama-sama melakukan aksi Bazar Durian Solidaritas Durian sejak hari jum`at tanggal 6 April 2018.
Bazar durian solidaritas adalah rangkaian kegiatan solidaritas menuju sidang putusan majelis Hakim di Pengadilan Negeri Pasang Kayu Kabupaten Mamuju Utara terhadap Empat Petani yang dikriminalisasi oleh PT. Mamuang anak perusahaan Astra. Yang mana hasil dari penjualan ini akan diarahkan pada kepentingan-kepentingan perjuangan kedepan petani Polanto jaya.
Keempat petani tersebut pada tanggal 17 April nanti, akan menjalani sidang putusan, sehingga, untuk lebih meningkatkan perjuangan tersebut, dukungan solidaritas sangat dibutuhkan dalam menguatkan perlawanan terhadap ketidakadilan di Negeri ini.
Kronologis Singkat PT. Mamuang
Tahun 2004, pihak mamuang yang dibantu oleh aparat Brimob Sulawesi Barat dengan secara membabi buta melalukan pengrusakan tanaman di lahan milik petani Polanto Jaya. Mereka beralasan bahwa, lahan tersebut adalah lahan PT. Mamuang—sehingga aktifitas warga disitu harus ditiadakan.
Melihat hal ini, Warga masyarakat juga tidak tinggal diam. Dengan modal Sertifikat, SKPT dan SPPT mereka menolak klaim dari pihak perusahaan tersebut. Sehingga aksi perlawanan Petani terhadap PT. Mamuang tidak terhindarkan. Sampai saat ini, perlawanan terhadap Mamuang masih terus dilakukan—ditengah tekanan dari Mamuang begitu besar misalnya intimidasi, represif (menggunakan aparat) dan upaya Kriminalisasi seperti yang dialami oleh empat petani yang saat ini didampingi oleh Walhi Sulteng.
PT. Mamuang Melakukan Penyerobotan
Selama persidangan dipengadilan Negeri Pasang Kayu kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, pihak Mamuang atau dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak pernah menunjukan Hak Guna Usaha Mamuang. Yang mana Hak Guna Usaha (HGU) adalah bukti yang paling bisa dijadikan rujukan untuk melihat lokasi PT. Mamuang dan wilayah yang disengketakan. Sehingga kasus ini bisa dilihat secara terang. Mohamad Hasan (Manager Kajian Dan Pembelaan Hukum Walhi Sulteng) menjelaskan bahwa “selama persidangan Jaksa Penuntut Umum tidak pernah menunjukan HGU PT. Mamuang. Dalam Pledoi Penasehat Hukum, Jelas, HGU PT. Mamung harus dihadirkan dalam persidangan, alat bukti ini adalah kunci untuk membuktikan lokasi tempat kejadian perkara—apakah berada dalam wilayah Mamuang atau tidak. Sehingga ini bisa menjadi jelas”. Bila HGU ini tidak pernah dihadirkan selama persidangan, bisa diasumsikan HGU Mamuang Cacat hukum dan kuat dugaan Mamuanglah yang melakukan penyerobotan lahan milik petani Polanto Jaya.
Tuntutan Jaksa Kabur
Selain itu, menurut Penasehat Hukum, tuntutan dari Jaksa Penutut Umum selama persidangan sangat kabur. Hal ini karena Jaksa Penuntut umum menuntut hanya berdasar pada alat bukti dan keterangan saksi saja. Padahal dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan alat bukti adalah : (1) Keterangan saksi, (2) keterangan Ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) Keterangan terdakwa
Sehingga menurut Penasehat Hukum para petani, dakwaan dari Jaksa Penutut Umum harus dikesampingkan, atau setidak-tidaknya, tidak dapat diterima. Karena perkara ini tidak memenuhi unsur pidana seperti apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Keadilan Untuk Pejuang Agraria
Berangkat dari situasi yang telah dijelaskan diatas, maka Mejelis Hakim dalam pembacaan putusan yang akan dilaksanakan tanggal 17 April 2018 ini, harus berlaku seadil-adilnya. Keadilan bagi petani adalah kemutlakan ditengah konflik agraria di Indonesia semakin tinggi. Apalagi konflik agraria yang terjadi selama ini, selalu saja mengorbankan kaum Tani.
Sehingga harapannya, dalam keputusannya nanti, majelis hakim bisa objektif dengan fakta-fakta yang ada, serta terlepas dari segala bentuk intervensi dari pihak-pihak tertentu dan keputusan yang lahir adalah kebenaran mutlak bagi kaum Tani.(K.E)