Fraksi Bersih-Bersih meminta Pemda Sulteng serius menangani krisis iklim

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Di sini ada krisis pikir

Hulu hilir

Miris energi

Akibat dampak industri

Dan kini nurani telah mati

Kebijakan tak lagi berarti

Hari ini kami mengkritik

Mengkritik investasi dan oligarki.”

Demikian sebagian kutipan isi orasi Fikran, salah satu massa aksi Fraksi Bersih-Bersih di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah, Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur, Senin petang (5/6/2023). Gerimis hujan pun tak menyurutkan langkah mereka melanjutkan aksi.

Berbagai aktivitas yang merusak lingkungan masih langgeng hingga hari ini di berbagai penjuru dunia, semisal penggundulan hutan, eksploitasi alam yang masif, dan pembuangan limbah yang bisa merusak segala keanekaragaman hayati di darat maupun di laut.

Menindaklanjuti hal tersebut, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day). Seperti termaktub dalam laman situswebWorld Environment Day, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023 sebenarnya mengusung tema melawan sampah plastik.

Adapun Fraksi Bersih-Bersih, aliansi yang jadi tempat berhimpun sejumlah organisasi nonpemerintah, memilih topik lain untuk disoroti. Mereka fokus menyoroti aktivitas pertambangan dan pemurnian nikel yang membutuhkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)–berbasis batu bara dan punya daya rusaknya terhadap alam.

Dalam aksinya, Fraksi Bersih-Bersih mempersoalkan pembangunan sejumlah PLTU di kawasan industri permurnian (smelter) nikel—terutama di Morowali dan Morowali Utara.

“Kami menyuarakan penolakan pembangunan PLTU yang ada di kawasan industri dan juga segera menekan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pemberhentian pembangunan PLTU yang ada di Sulawesi Tengah maupun yang ada di nasional,” ujar Wandi, koordinator Fraksi Bersih-Bersih.

Maret silam, koalisi dari lembaga nonpemerintah ini juga sudah angkat suara. Mereka menuntut agar perusahaan tambang, dan pemurnian nikel di Morowali serta Morowali Utara tidak lagi menggunakan PLTU sebagai sumber listrik.

Sulteng memang memiliki sejumlah kawasan industri pemurnian nikel yang menyandarkan diri pada pembangkit listrik berbasis batu bara. Misalnya Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang sudah mengoperasikan enam PLTU. 

Itu belum menghitung PLTU kawasan milik Gunbuster Nickel Industries (GNI) di Morowali Utara. Ada pula rencana pembangunan smelter di bawah bendera  Baoshuo Taman Industri Investmen Group (BTIIG) di wilayah Morowali.

Rencana pembangunan PLTU ini diperkuat lewat Perpres No 112 Tahun 2022 yang mengizinkan pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara di kawasan industri.

Keberadaan Perpres itu juga dinilai mengganjal sebab Indonesia juga menyepakati pendanaan transisi energi lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal yang disebut terakhir merupakan skema pembiayaan global untuk Indonesia yang disepakati pada forum G20 tahun lalu di Bali. Skema pembiayaan ini mendorong transisi energi fosil (termasuk batu baru) menuju energi terbarukan. 

Energi fosil memang tengah jadi perhatian global berkenaan topik lingkungan. Hasil pembakaran batu bara dianggap memperparah emisi, mempetebal selimut polusi, dan yang terburuk memperburuk krisis iklim. Indonesia sendiri telah menyatakan komitmennya untuk menuju nol emisi pada 2060 atau lebih cepat

Masalah warga lingkar tambang

Dalam aksinya, Fraksi Bersih-Bersih juga menyebut dampak langsung dari industri pertambangan dan PLTU yang membawa dampak lingkungan langsung kepada masyarakat. Semisal penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang akan berdampak ke masyarakat Morowali dan Morowali Utara yang hidup berdampingan dengan tambang nikel.

“Fraksi Bersih-Bersih berharap agar DPRD Sulteng melakukan langkah evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang mengepung Morowali dan Morowali Utara untuk melihat sejauh mana daya rusak yang dilakukan oleh perusahaan yang juga menghilangkan ruang-ruang hidup masyarakat,” ujar Wandi.

Tuntutan serupa juga dilakukan oleh warga Desa Danga-Danga di Morowali Utara karena merasa lahannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah investasi. “Dan juga dalam perjanjian ada wilayah khusus UMKM yang justru hanya sebatas janji,” ungkap Wandi.

Lewat aksi ini, Fraksi Bersih-Bersih mengharapkan agar pemerintah dan DPRD Sulteng segera melakukan langkah evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang mengepung wilayah Morowali dan Morowali Utara.

“Segera terbitkan kebijakan untuk memberhentikan perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab, perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM di lingkar industri tambang maupun sawit. Kami juga meminta agar Pemerintah Sulawesi Tengah mengeluarkan kebijakan serius menangani krisis iklim yang saat ini berdampak langsung di daerah-daerah,” pungkas Wandi.

Tulisan tersebut tulisan Tutura.id dan diterbitkan website

Penulis Nasrullah Turura. id

ttps://tutura.id/homepage/readmore/fraksi-bersihbersih-meminta-pemda-sulteng-serius-menangani-krisis-iklim-1686044802

 

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :