Siaran Pers
12 November 2018
Saat ini, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah sedang meyelesaikan rancangan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah. Kedepan, RTRW yang ada akan memasukan beberapa point, salah satunya soal mitigasi bencana.
Dalam perumusan RTRW ini, Walhi Sulteng menekankan kepada Pemerintah Daerah untuk tidak melupakan atau mengabaikan sejarah secara keseluruhan. Mengingat bahwa, banyaknya korban jiwa saat Gempa bumi tanggal 28 September 2018, adalah bagian yang terpisahkan dari masih buruknya perangkat kebijakan yang ada, serta ada indikasi pengabaian RTRW yang ada.
Direktur Walhi Sulawesi Tengah Abd. Haris menerangkan bahwa, “ada banyak ketidaksesuaian antara pembangunan di Kota Palu dan perda tataruang kita, Misalnya wilayah pesisir teluk Palu. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan rawan gelombang dan tsunami, namun di tempat yang sama juga dibangun Hotel dan mereklamsi teluk”.
Dalam Peraturan Daerah Kota Palu Rencana Tataruang Wilayah Kota Palu Nomor 16 Tahun 2010, pasal 42 Kawasan rawan gelombang pasang/tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. wilayah Kecamatan Palu Utara mencakup Kelurahan; Panau, Kelurahan Kayumalue, Kelurahan Baiya, Kelurahan Lambara, Kelurahan Mamboro, Kelurahan Taipa, dan Kelurahan Pantoloan; b. wilayah Kecamatan Palu Timur mencakup Kelurahan Talise, Kelurahan Tondo, Kelurahan Layana Indah, dan Kelurahan Besusu Barat; c. wilayah Kecamatan Palu Selatan mencakup Kelurahan Lolu Utara dan Kelurahan Lolu Selatan; dan d. wilayah Kecamatan Palu Barat mencakup Kelurahan Ujuna, dataran banjir S. Palu di Kelurahan Nunu, Kelurahan Silae, Kelurahan Tipo, Kelurahan Buluri, Kelurahan Watusampu, dan Kelurahan Lere.
Dari pasal diatas membuktikan berbeda dilapangan “Kenyataannya, dibeberapa tempat, (yang dijelaskan dalam pasal 42 point ke 3) justru pembangunan begitu masif. Sepanjang pesisir, terdapat beberapa tempat yang direklamasi dan dibangun hotel-hotel serta pusat hiburan lainya”. Tegas Aries
Konsekuensi dari pembangunan yang tidak terkontrol tersebut adalah, alih fungsi wilayah. Hutan mangrove yang mempunyai fungsi pelindung dari air pasang dan tsunami dibabat habis dan diganti dengan konsep betonisasi.
Padahal dalam Perda tersebut Pasal 6 menyebutkan tentang Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang Point (a) menjelaskan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung; serta pasal 7 menjelaskan soal (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Kebijakan yang melawan alam seperti itu, akan mengakibatkan kerusakan dan akan memberikan dampak bagi manusia itu sendiri. Sehingga menurut Direktur Walhi Sulteng, bahwa, Rezim PAD yang hanya mementingkan kepentingan investasi harus segera diperbaiki. Selain itu, perlu menindak tegas serta memberikan sangsi hukum, apabila memang terdapat pelanggaran dan pengabaian RTRW yang ada. Pemerintah juga perlu memasukan zona perlindungan wilayah pesisir dan ekosistem pesisir. Hal ini dimaksudkan untuk perlindungan wilayah pesisir kedepan sesuai amanat Peraturan yang ada.
Manager Kampanye Walhi Sulteng
Stevandi 081354220334