Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu 2020 – 2040 yang telah disusun oleh Pemerintah Kota Palu diduga hanya untuk memutihkan pelanggaran Perda Nomor 16 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Palu Tahun 2010 – 2030 dan memuluskan jalan bagi korporasi dengan investasi berskala besar. Demikian pernyataan Direktur WALHI Sulteng Abdul Haris Lapabira dalam siaran persnya hari ini Jum’at (31/01/2020).
Hasil audit tata ruang kawasan perkotaan Palu dan Donggala yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dan Penguasaan Tanah Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/BPN tahun 2019 menunjukkan banyaknya indikasi pelanggaran RTRW di Kota Palu.
PertamaPerda RTRW belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam perumusan program dan pelaksanaan pembangunan di Kota Palu dan Kab. Donggala. Kedua Terjadinya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan RTRW (Pola Ruang) baik terhadap kegiatan yang memiliki izin maupun tanpa izin Ketiga terdapat rencana pola ruang yang tidak mempertimbangkan kondisi eksisting penggunaan lahan dan daya dukung ruang. Keempat Implementasi program (arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW) belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan rencana.
Sebagai contoh wilayah Watusampu dan Buluri berdasarkan arahan tata ruang ditetapkan sebagai kawasan rawan Bencana Longsor dan RTH. Namun dilapangan yang eksisting adalah kegiatan pertambangan Hasil audit BPN menemukan fakta perubahan lahan perkebunan warga beralih fungsi menjadi lokasi ijin pertambangan galian C (sirtu) di Kelurahan Watusampu dan Buluri yang terus meluas hingga tahun 2018 mencapai 111,7 hektar. hal ini juga sudah dilakukan audit pada tahun 2015. Contoh lain, wilayah Talise ditetapkan sebagai RTH (TPU) eksisting dilapangan Hotel/Vila, terdapat juga Pertokoan. Selain itu juga terdapat Hotel pada wilayah Silae. Yang dibangun tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Ada berbagai pelanggaran pemanfaatan ruang yang terjadi di Kota Palu
Akibatnya terjadi ketidak sesuaian pemanfaatan ruang dan kecenderungan terjadinya penyimpangan terhadap RTRW yang mengarah pada perubahan fungsi ruang dan pelanggaran Perda RTRW Tahun 2010 – 2030. Seperti indikasi pelanggaran kegiatan pertambangan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan pencemaran udara serta gangguan terhadap jalur transportasi darat di jalan poros Palu – Donggala. Pembangunan perhotelan dan pemukiman diwilayah bencana juga menempatkan warga pada bahaya ancaman bencana setiap saat.
Dari hasil audit Kementerian ATR sejak terjadinya perubahan fungsi pemukiman menjadi areal pertambangan ini diperkirakan total kerugian mencapai Rp. 6.159.746.449 695.380,- (enam, seratus lima puluh Sembilan juta triliyun rupia) pertahun. Bahkan dari kerusakan lingkungan yang terjadi dari aktifitas pertambangan tersebut belum ada upaya untuk melakukan pengendalian dan pemulihan oleh pemerintah Kota Palu dan Provinsi.
“Dari perkiraan kerugian ini negara dan masyarakat menderita kerugian yang sangat besar. Bukan hanya itu bencana yang terjadi pada 28 Septembr 2018 lalu mengakibatkan saudara kita kehilangan nyawa. Terlihat jelas bagaimana pemerintah Kota Palu dan juga pemerintah Provinsi tidak konsisten dalam menegakkan pengimplementasian Perda RTRW yang dilakukan oleh korporasi. Karena itu diperlukan upaya pengendalian atas pelanggaran ruang yang dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini harus ada upaya penegakan hukum terhadap korporasi yang melanggar hukum” tegas Abdul Haris Lapabira”
Menurutnya Ranperda RTRW yang akan dibahas oleh DPRD Kota Palu dan Provinsi seharusnya tidak menganulir pelanggaran aturan tata ruang dimasa lalu. Karena itu WALHI Sulteng mendesak agar Pemerintah dan DPRD Kota Palu dan juga Provinsi untuk menghentikan pembahasan RTRW yang sementara dalam proses drafting dan kembali mengajak seluruh stakeholder guna membahas substansi dari Ranperda RTRW dalam rangka menjaga konsistensi RTRW sebagai pengendalian penggunaan ruang dan untuk mewujudkan keadilan ruang bagi rakyat Kota Palu.