Salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan mahluk hidup adalah air. Air memiliki peran dan fungsi yang paling menentukan terhadap kehidupan—sehingga keberadaan air perlu dirawat dan dijaga sebagai penopang kehidupan dibumi.
Belakangan–dibalik manfaat air yang cukup melimpah ruah, terdapat ancaman serius yang tengah dihadapi oleh kemurnian air. Ancaman itu juga dapat memberikan pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup manusia, baik secara ekonomi, budaya, sosial dsb—sehingga Ini harus menjadi perhatian serius bagi manusia.
Privatisasi Air
Dalam logika berfikir kapitalisme (sistem permodalan) saat ini, adalah kemutlakan– melakukan pelipatgandaan kentungan secara besar-besaran. Air sebagai sumber kehidupan bagi mahluk hidup, dalam sistem kapitalisme, akan dilihat sebagai barang komoditas yang tepat untuk melipatgandakan keuntungan. Sehingga kehendak untuk mengontrol air oleh swasta adalah kemutlakan.
Privatisasi air di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 90an—saat itu bank dunia memberikan pinjaman sebesar USD 92 juta kepada PAM Jaya dalam memperbaik infrastuktur. Tahun 1999, Bank Dunia memberikan lagi pinjaman untuk sektor sumber daya air atau Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) dengan total USD 300 Juta dalam memperbaiki kebijakan pada sektor air di Indonesia. Hal tersebut adalah strategi untuk membukakan peluang bagi sektor swasta dalam pengelolaan air di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1993, di Serang Utara terjadi privatisasi air, disusul Batam tahun 1996. Tahun 1998, dua perusahaan asing Suez Lyonnaise des Eaux dari Prancis dan Thames Water, Inggris mendapatkan konsesi pengelolaan hingga 25 tahun untuk menyediakan layanan air dijakarta.
Selain itu, di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah misalnya, saat ini terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PT. Poso Energi) yang sedang melakukan produksi energi listrik dengan sumber energi berasal dari danau Poso. PLTA Poso-2 yang sudah berproduksi saat ini, telah mampu memproduksi energi ± 180 MW– Ini diluar dari PLTA Poso-1 dan PLTA Poso-3 yang sekarang masih dalam tahap pembangunan yang masing-masingnya dapat memproduksi energi ± 60 MW dan 300 MW. Kita dapat melihat secara nyata dalam kerangka sistem kapitalisme saat ini, bahwa air telah menjadi komoditi penting untuk melipatgandakan keuntungan. Kita bisa membayangkan, misal—
saat ini harga satuan Watt dihargai dengan Rp. 1467, dengan harga tersebut bila kita rata-ratakan dari konsumen yang mengkonsumsi energi tersebut dengan daya 900 KWh Bagaimana Keuntungan yang di dapat perusahaan/ Bulan? Cukup dengan mengkonfersi total energi yang dihasilkan, dan harga perKwh, serta jumlah penyaluran, kita bisa secara sederhana dapat menghitung keuntungan dari PLTA Poso Energi.
Betapa besar keuntungan yang didapatkan dengan memprivatisasi air, namun dibalik itu, ada berbagai macam persoalan yang dilahirkan dari kejahatan kapitalisme hingga saat ini dengan logika pelipatgandaan keuntungan secara serakah.
Kapitalisme dan Pencemaran Air
Laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015 bahwa hampir 68 persen mutu air di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat.
Berdasarkan data diatas, Pencemaran air yang terjadi di Indonesia saat ini erat kaitannya dengan persaingan para pihak swasta untuk terus memproduksi barang-barang konsumtif. Konsekuensi dari kompetisi tersebut adalah, memproduksi barang dan menginovasikan barang-barang produksi yang ada.
Sadar atau tidak sadar, persaingan antar pemilik modal tersebut yang terus berproduksi, tanpa terkontrol secara sosial, telah berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan dimuka bumi. Secara khusus pencemaran air– Misalnya, sampah-sampah kemasan yang bisa kita temui setiap hari.
Sampah-sampah kemasan tersebut adalah barang-barang dari hasil produski korporasi/ perusahaan– yang terus menerus berproduksi (akibat persaingan yang sudah dijelaskan sebelumnya). Hal ini disebabkan karena, hingga saat ini pengelolan dan produksi oleh korporat masih belum sepenuhnya punya prespektif luas tentang produksi ramah lingkungan serta berkeadilan bagi kelas pekerja dan rakyat. Sehingga dari proses produksi dalam kapitalime, banyak menimbulkan persoalan-persoalan sosial dimasyarakat.
Berangkat dari sini, maka perlu dorongan untuk mewujudkan pengelolaan yang ramah lingkungan bagi keberlangsungan hidup sehingga tidak mencemari air yang sangat penting bagi manusia..
Selain sampah sisa, industri Ekstraktif (pertambangan) maupun oleh industri Perkebunan dengan skala besar (Perkebunan sawit, Ilegal Loging) Dsb— juga menjadi penyumbang besar akan tercemarnya air dibumi manusia saat ini.
Di Palu Sulawesi Tengah misalnya. hasil penelitian yang dilakukan Budyanto Nura Somba diasistensi oleh Dr. Fadly Y. Tantu dan Dr. Zakirah Raihani Ya`la dimana keduanya adalah staf pengajar di program pascasarjana Unversitas Tadulako. Dalam penelitan tersebut diterangkan bahwa tingkat pencemaran di teluk palu sudah sangat mengkawatirkan.
Berdasarkan Penelitian tersebut bahwa beban limbah di Teluk Palu telah melewati baku mutu lingkungan berdasarkan SK MENKLH No 51 tahun 2004
Dinas Kesehatan Kota Palu juga pernah melakukan penelitian soal air di Palu pada tahun 2004. Dari hasil penelitan tersebut dijelaskan bahwa dari beberapa titik yang diambil sampelnya, hampir semua mengandung merkuri. Selain itu dijelaskan bahwa, jumlah kandungan merkuri yang ada telah melampaui ambang batas. Sehingga ini sangat berbahaya.
Pencemaran yang terjadi di teluk palu ini, selain berasal dari sampah domestik, lebih besar lagi berasal dari industri yang ada. Milalnya PLTU Mpanau berdasarkan penelitian dari dosen Untad, dan Perusahaan ilegal yang melakukan penambangan di wilayah poboya dengan menggunakan merkuri hingga saat ini.
Dari sini kita bisa melihat—bagaimana kapitalisme selain memprivatisasi air, juga merusak keberadaan air tersebut sehingga sangat mengancam keberlangsungan hidup di muka bumi.
RUU Air
Melihat situasi soal air di Indonesia, saat ini RUU soal air telah masuk lagi dalam badan Legislasi DPR-RI setelah sebelumnya Pada tahun 2004, Mahkamah Konstitusi pernah menghapus seluruh pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Mahkamah Konstituti menilai bahwa, dalam UU tersebut, masih belum terdapat batasan yang jelas terhadap perusahaan swasta dalam pengelolaan air. Sehingga masih punya potensi privatisai oleh pihak swasta.
Namun dari beberapa poin dalam RUU yang baru tersebut, masih terdapat juga beberapa poin yang perlu di periksa lagi. Hal tersebut dikawatirkan masih dapat menjadi legitimasi sektor swasta terhadap pengelolaan air. Sehingga perlu menjadi perhatian serius.
Selain itu, dalam RUU ini harus mempunyai prespektif berkelanjutan dan berkeadilan—baik sebagai fungsi sosial, Lingkungan hidup dsb, sehingga jaminan atas kualitas, kuantitas, kontiunitas dsb bisa terakses oleh rakyat.
Kemudian dalam RUU ini harus melihat air secara utuh–tidak terpisah. Secara garis besar ingin dijelaskan bahwa air tidak hanya terdapat dipermukaan saja misalnya danau, sungai, rawa dll—akan tetapi, jauh dibawah tanah juga terdapat air atau biasa juga disebut air tanah. Selain itu daerah aliran sungai, baik induk sungai dan anak-anak aliran sungai, harus dilihat secara utuh, sehingga bisa dijadikan analis dalam perancangan RUU ini.
Dilain pihak dalam pembuatan RUU ini, belum mengadopsi tentang Strict Liability (tangung jawab mutlak) dan Vicarious Liability ( Tanggung Jawab Pidana). Hal ini berkaitan pertanggung jawaban menyeluruh sebagaimana seperti disebutkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup.
UUPPLH pasal 116 ayat 2 menjelaskan: “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”
Hal tersebut sangat pengting dalam rancangan undang-undang ini, sehingga bisa membatasi dan mempunyai penagasan soal pengelolaan air dan lebih mempunyai fungsi kontrol yang kuat. Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian.
Air Untuk Kemanusian Bukan Untuk Akumulasi Modal
Melihat situasi yang sedang berkembang saat ini, maka penting bagi kita untuk melihat air dalam prespektif kemanusian. Bukan dalam prespektif pelipatgandaan keuntungan dalam kerangkan kapitalisme. Hal tersebut untuk mengembalikan sifat dasar air yaitu untuk kehidupan dan kemanusiaan.
Kita ketahui selain mempunyai manfaat yang cukup besar, air juga memiliki daya rusak yang besar bila tidak terkelola dengan baik. Sehingga adalah kemutlakan bagi kita untuk terus menjaga air dari logika eksploitatif oleh korporat yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya. (K.E)