Satu pekan terakhir, isu tentang rencana pemerintah membangun tanggul tsunami Teluk Palu kembali mencuat ke permukaan. Betapa tidak, pemberitaan beberapa media online dan media cetak lokal Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadikan isu ini sebagai headline dan berita utama. Pernyataan Kepala Satuan Tugas Penanganan Bencana Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto tentang proyek pembangunan tanggul pantai Silae, Lere, Besusu Barat dan Talise (Silebeta) yang akan membentang mulai dari ujung Jalan Cumi-cumi hingga kawasan penggaraman sepanjang lebih kurang 7 kilometer ini merupakan bagian dari pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah.
Pernyataan ini kemudian memicu reaksi penolakan keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng. Dalam rilis tertanggal 25 November 2019, Direktur Eksekutif WALHI Sulteng Abdul Haris Lapabira menyatakan pembangunan tanggul teluk palu wajib ditolak. Tidak hanya sampai disitu, tanggal 26 November, dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Bina Marga Provinsi Sulteng, Haris kembali meminta penjelasan atas informasi tersebut.
Melalui kesempatan ini Haris kembali menegaskan penolakan WALHI Sulteng terhadap rencana pemerintah membangun tanggul Teluk Palu. Karena rencana pembangunan tanggul yang dipromotori JICA ini terkesan abai dengan partisipasi publik dan belum ada kejelasan informasi. Hal tersebut terlihat pada saat konsultasi mengenai AMDAL di Hotel Jazz bersama dengan para lurah, dimana tim konsultan pada saat itu tidak mampu menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat.
“Mereka tidak mampu menjelaskan apa sesungguhnya yang direncanakan. Desainnya seperti apa? Bagaimana konstruksinya akan dibangun? Apakah warga sudah dimintai pendapat tentang rencana ini?. Tidak ditemukan kesepakatan bersama dalam penyusunan AMDAL ini. Dan pada waktu itu akhirnya prosesnya dihentikan.. Jadi kami tegaskan kami menolak rencana pembangunan tanggul ini. Karena informasi yang disampaikan tidak cukup jelas. Dan tidak ada juga analisis yang lebih detail apakah memang tanggul tsunami ini akan melindungi warga dari tsunami” kata Haris
Walhi Sulteng menduga jika tanggul ini dibangun hanya akan menciptakan ilusi rasa aman buat warga yang tinggal dibalik tembok itu. Seperti yang terjadi di Jepang pada tahun 2011. Di Jepang ketika itu orang sudah merasa aman dan tidak takut lagi dan menganggap mereka semua akan selamat dari bencana tsunami. “Karena terilusi seperti itu akhirnya tsunami datang dan banyak korban jiwa. Di teluk palu kita belum mendengar ada kajian akademik yang mampu menjelaskan kemampuan tanggul tsunami itu” tutur Haris
Menanggapi penolakan dari Walhi Sulawesi Tengah, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng Ir. H. Syaifullah Djafar menegaskan bahwa sejak ada penolakan masyarakat, sampai saat ini belum ada rencana pembangunan tanggul tsunami. “Kenapa ini masih terus dipersoalkan, padahal saya kira ini sudah clear. Sekali lagi saya tegaskan tidak ada pembangunan tanggul tsunami. Yang akan dibangun itu tanggul penahan abrasi untuk menghindari abrasi. Karena kita lihat sekarang kalau air laut pasang itu airnya sampai di Jalan Diponegoro” terang Syaifullah Djafar.
Lebih lanjut ia menjelaskan, jika dianalisis mekanisme pergerakan tsunami yang terjadi 28 september 2018, kita tidak perlu membangun tanggul tsunami. Terlebih lagi siklus perulangan kejadian tsunami itu panjang masa waktunya. Menurutnya yang perlu menjadi perhatian dan diperhitungkan apabila spot tsunaminya berasal dari luar teluk Palu. Semisal dari arah Selat Makassar. “Kalau spot tsunaminya berasal dari luar teluk Palu itu juga perlu diwaspadai. Untuk mitigasinya itu belum direncanakan sampai sekarang ini. Yang baru dibuat sekarang ini mengambalikan lagi bibir pantai dari potensi abrasi” tambahnya.
Menurutnya bagi wilayah yang sudah bisa dilakukan penanaman mangrove, masyarakat yang sudah bisa melakukan penanaman. Sedangkan untuk wilayah yang belum bisa ditanami mangrove akan dikondisikan terlebih dahulu media tanamnya karena menurut beberapa kajian juga belum layak untuk dilakukan penanaman.