Penghancuran dan Perampasan Ruang Penghidupan Nelayan Pesisir Utara Kota Palu

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Masih segar dalam ingatan rentetan peristiwa pembakaran bagang yang dilakukan nelayan terhadap bagang milik pemodal besar yang merampas ruang kelola nelayan tradisional Teluk Palu selama kurun waktu 4 tahun (2005-2009). Bagang telah pergi, tapi nelayan Teluk Palu kembali diperhadapkan dengan masalah yang lebih kompleks. Di wilayah pesisir utara Kota Palu Pembangunan Perluasan pelabuhan petikemas telah mengkapling wilayah pesisir 0,5 kilometer lebih di Kelurahan Pantoloan. Pengembangan Kawasan Industri Palu yang akan menguasai 1500 hektar wilayah daratan di Kecamatan Tawaeli, proyek ini juga akan mengkapling wilayah pesisir sepanjang kurang lebih 0,6 kilometer.

Bulan Oktober lalu, sebuah pabrik pengolahan nikel (smelter) milik PT. Trinitan Metals and Minerals telah dimulakan pembangunannya di Kawasan Industri Palu tanpa adanya perencanaan pengolahan limbah saat pabrik pengolahan nikel ini akan beroperasi. Sangat kuat dugaan limbah pabrik pengolahan nikel ini akan dibuang ke wilayah laut. Dapat dipastikan pengoperasian pabrik pengolahan nikel dan pembuangan limbah akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut Teluk Palu, utamanya wilayah pesisir Kecamatan Tawaeli dan Palu Utara. Selain itu North Abel Beach sebuah tempat wisata di Kelurahan Panau Kecamatan Tawaeli juga mengkapling wilayah pesisir di wilayah tersebut. Jauh sebelum bencana 28 September 2018 limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Panau telah merusak lingkungan laut Kecamatan Tawaeli. Untung saja sejak pasca bencana PLTU Panau berhenti beroperasi.

Dalam pertemuan yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Sulteng Bergerak dengan WALHI Sulteng bersama nelayan penyintas di Huntara Talise Kelurahan Panau pada bulan Desember 2019, nelayan mengeluhkan kerusakan alat tangkap pukat yang ditabrak oleh kapal pengangkut barang yang hilir mudik ke pelabuhan petikemas Pantoloan.

Masalah yang sama juga dialami nelayan di Kecamatan Palu Utara. Di Kelurahan Taipa sejumlah villa dan tempat wisata milik konglomerat telah dibangun diantaranya Gee Beachfornt Private Villa, A’s Private Villa dan Taipa Beach. Diantara villa dan perusahaan wisata tersebut Taipa Beach adalah perusahaan yang paling banyak mengkapling wilayah garis pantai dan berdampak terhadap berkurangnya daerah tambatan perahu nelayan. Dimana Taipa Beach menguasai 0,35 km garis pantai Kelurahan Taipa.

Sementara itu tidak jauh dari villa-villa tersebut di Kelurahan yang sama juga terdapat pabrik pemecah batu PT. A. Rasmamulia. Selain menimbulkan kebisingan bagi penduduk di sekitar pabrik, kehadiran pabrik pengolahan batuan tersebut telah mengkapling wilayah pesisir sepanjang 0,9 kilometer. Dari keseluruhan garis pantai Kelurahan Taipa yang berjarak sekitar 3,63 kilometer, Taipa Beach dan PT. A. Rasmamulia telah mengkapling wilayah pesisir sepanjang 1,25 kilometer atau sekitar 34,4 persen wilayah pesisir Kelurahan Taipa dan merampas ruang penghidupan nelayan.

Disamping itu hampir semua wilayah pesisir Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Tawaeli telah direncanakan akan dijadikan kawasan perlindungan setempat oleh Pemerintah Kota Palu. Rencana kebijakan tersebut terlihat dari Peta Rencana Pola Ruang yang merupakan salah satu bagian dari Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu Tahun 2020 – 2040. Rencana kebijakan tersebut akan menimbulkan konflik pengelolaan ruang di wilayah pesisir. Karena kebijakan ini sarat akan kepentingan investasi dan justru akan menyingkirkan pemukiman nelayan yang ada di sepanjang wilayah pesisir Kecamatan Palu Utara dan Tawaeli.

Peta Pola Ruang Wilayah Kota Palu yang merupakan lampiran Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu 2020 – 2040

Penguasaan wilayah pesisir oleh perusahaan pariwisata dan dampak industrialisasi ke depan akan semakin memiskinkan nelayan di Kecamatan Palu Utara dan Tawaeli. Terlebih lagi di tengah kepungan investasi belum ada rencana dari pemerintah untuk menyelamatkan wilayah pesisir dan laut dari kerusakan lingkungan. Padahal sektor perikanan tangkap adalah salah satu penyuplai utama pangan ikan sebagai sumber nutrisi dan protein bagi warga Kota Palu. Maka tidak heran tahun 2017 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah merilis data jumlah keluarga nelayan di Kota Palu sebanyak 1.412. Sementara itu menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah jumlah nelayan di Kota Palu sebanyak 972 KK dengan tingkat produktifitas 2.624,60 ton (tahun 2014), 2.811, 90 (tahun 2015), 2.865,10 (tahun 2016) dan menurun drastis pada 2018 yakni 1.111 ton karena terdampak bencana.

Demikian kompleksitas masalah yang dihadapi oleh komunitas nelayan di Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Tawaeli. Belum lagi di wilayah barat pesisir Kota Palu pangkalan jeti perusahaan tambang galian pasir dan batuan telah mengkapling sepanjang wilayah pesisir Kecamatan Ulujadi. Pencemaran laut akibat sedimentasi di dalam laut semakin memperparah kerusakan lingkungan dasar laut teluk palu.

Pasca bencana 28 September 2018, di masa rehabilitasi dan rekonstruksi, sebuah proyek senilai 250 milyar rupiah yang bersumber dari dana hutang luar negeri sedang berlangsung. Pembangunan tanggul penahan abrasi (Tanggul Silebeta) sepanjang 7 kilometer yang membentang dari Kelurahan Silae, Lere, Besusu Barat hingga lokasi penggaraman Talise. Sebentar lagi selepas proyek ini selesai, tempat tambatan perahu nelayan di 4 kelurahan tersebut akan berkurang jika tak ingin disebut dihilangkan. Karena itu menjadi penting bagi nelayan Teluk Palu untuk kembali menyatukan kekuatan dalam rangka mendesak kebijakan pengelolaan ruang pesisir dan laut yang lebih adil dan berkelanjutan di Kota Palu.

Facebook
Twitter

Tinggalkan Komentar Anda :